Sejarah dan Konflik Surat Ijo Surabaya: Pernah Menang di Tingkat Kasasi (23)

Sejarah dan Konflik Surat Ijo Surabaya: Pernah Menang di Tingkat Kasasi (23)

Seragam pejuang surat ijo dengan tulisan tolak bayar retribusi ke Pemkot Surabaya.-Salman Muhiddin/Harian Disway-

Perjuangan lewat jalur diplomasi dan politik gagal total. Warga yang tak mau diberi angin surga memutuskan langkah yang lebih agresif: gugatan hukum.


Perjuangan itu selalu berhenti dengan kemenangan pemkot. Tapi tidak pada 28 September 2010. Mahkamah Agung mengabulkan gugatan warga atas tanah seluas 296.662 meter persegi.

Alas hak tanah yang diakui sebagai aset pemkot di Gubeng itu dianggap cacat hukum. Badan Pertanahan Nasional (BPN) juga diminta mencabut SK nomor 53 Tahun 1997 atas nama Pemkot Surabaya.

Gugatan dilakukan warga Baratajaya, Kecamatan Gubeng pada 29 Juli 2008 ke Pengadilan Negeri Surabaya. Dalam persidangan, gugatan warga ditolak. Alasannya, tanah tersebut sudah berstatus HPL atas nama Pemkot Surabaya yang dicatat BPN pada 8 April 1997.

Tanah tersebut adalah tanah negara bekas eigendom verponding gemeente No. 5853 dan 1304. Dengan dasar itu pemkot memenangkan persidangan. Warga tidak punya alas hak. Sebab, tak ada yang bisa mensertifikatkan tanah yang mereka tempati puluhan tahun itu.

Mereka  tak menyerah. Gugatan dialihkan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) pada 27 Juli 2009. Pemkot menang lagi. Warga mengambil langkah gugatan banding ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN). Kalah lagi.

Pada 5 Januari 2010 perjuangan dilanjutkan ke Mahkamah Agung (MA). Kali ini hakim MA mengabulkan gugatan warga. Inilah kemenangan satu-satunya warga surat ijo di meja hijau. 

Warga menyambut bahagia. Namun pemkot mengambil langkah hukum terakhir dengan mengajukan peninjauan kembali (PK). Kali ini pemkot yang menang. 

Sudah tidak ada lagi jalur hukum yang bisa ditempuh. Secara teori, putusan itu memberi ruang bagi pemkot untuk menggelar eksekusi. Warga bisa digusur karena sudah kalah.

Opsi kedua, warga tidak diusir tapi harus mengakui tanah itu sebagai aset pemkot. Mereka yang melakukan pemboikotan retribusi harus bersedia membayar retribusi tanah beserta tunggakannya.

Nyatanya pemkot tidak mengambil langkah itu. Sikap warga juga tidak berubah. Dua opsi itu tidak dilakukan. Warga tak mungkin mengakui tanah yang mereka tinggali adalah aset pemkot. 

Serangan dilakukan ke segala penjuru. Warga sudah ke PN Surabaya, PT Jatim, PTUN, PTTUN, Mahkamah Agung dan kini ke MK. Dikejar kemanapun sampai kena. Sekali merdeka tetap merdeka.  (Salman Muhiddin)

Pakai Strategi Diplomasi, BACA BESOK! 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: