Venna Melinda, dari Bucin sampai KDRT
-Ilustrasi: Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-
Jadi mirip pepatah: ”Tiada asap jika tak ada api.”
Gabungan teori siklus kekerasan dengan teori konflik keluarga menjelaskan, mengapa seseorang (bisa suami atau istri) bisa marah meledak-ledak hanya karena persoalan sepele. Yang bagi orang lain, hal sepele itu bukan persoalan.
Orang lain (di luar suami-istri) tidak melihat latar belakang kejadian. Latar belakang, ketika suami memendam rasa, menahan emosi. Lantas, meledak karena kejadian sepele.
Gabungan dua teori itu juga menyimpulkan, pelaku KDRT merasa kurang bersalah. Sebab, yang ia lakukan adalah tindakan balasan. Kondisi itu membikin situasi bisa lebih kacau lagi. Sebab, rasa kurang bersalah bisa naik tingkat jadi merasa ia benar.
Di Indonesia, perkara KDRT harus melalui tahapan tawaran perdamaian. Penyidik akan memberikan ruang dan waktu agar masing-masing berdamai. Seumpama pelapor mencabut laporan, urusan bakal selesai. Seperti pekara KDRT Rizky Billar terhadap Lesti Kejora yang lalu.
Apakah Ferry-Venna bakal berdamai atau perkara lanjut, kita tunggu perkembangannya. (*)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: