Series Jejak Naga Utara Jawa (11) : Glodok Bawa Wajah Kebinekaan

Series Jejak Naga Utara Jawa (11) : Glodok Bawa Wajah Kebinekaan

Warga dari berbagai suku dan latar belakang berbaur dalam aktivitas ekonomi di kawasan Pancoran Glodok, Jawa Barat.-Yulian Ibra-Harian Disway-

Glodok, Jakarta Barat, memang pernah diguncang kerusuhan. Tetapi, denyut kehidupan di sana terus bertahan. Tanpa disadari, tanpa diskenario, kawasan Pecinan Glodok membawa atmosfer toleransi.

 

’’JAKARTA itu susah jadi kota toleran.’’

 

Kalimat itu meluncur dari bibir Ng Andre yang sedang berbincang dengan tim Ekspedisi Jejak Naga Utara Jawa di dalam kompleks Kelenteng Toasebio, Jalan Kemenangan III, Glodok.

 

Memang, kalimat tersebut terasa menyentak. Mengejutkan. Tetapi, Andre punya analisisnya. Sendiri. Jakarta, ucapnya, adalah kota yang terlalu heterogen. Semua golongan ada. Semua strata sosial punya. Semua unsur politik komplet. Nah, unsur-unsur pembentuk kebinekaan itu bisa jadi bom waktu. ’’Kalau ada permainan politik, politisasi agama, dan sebagainya,’’ kata pria kelahiran 11 Februari 1973 tersebut.

 

BACA JUGA: Kerasnya Kehidupan Glodok

 

Tetapi, Andre juga tak memungkiri kenyataan bahwa warga Jakarta sejatinya bisa berdampingan dalam keberagaman. ’’Jakarta harus bisa jadi kota toleran. Dalam tataran masyarakat, toleransi itu sudah oke,’’ ucapnya.

 

Dan keberagaman itu terlihat di Glodok. Meski kental dengan nuansa Tionghoa, sejatinya warga yang mendiami kawasan itu berasal dari banyak suku. Yang berdagang di kawasan pecinan itu pun dari banyak etnis.

 

Itu kami rasakan saat menjelajahi Glodok pada Minggu, 15 Januari 2023. Sepanjang perjalanan—jalan kaki—selama seharian itu, kami banyak mendengar kata-kata dalam berbagai bahasa.

 

Yang utama tentu bahasa Indonesia dengan dialek Betawi. Tetapi, sesekali menyembul juga bahasa Jawa dari para pedagang di situ. Termasuk dari penjual baju yang dagangannya sempat memikat kami di pengujung hari.

 

Hari itu, kami juga mengunjungi Petak Enam, sebuah open community space yang dihidupkan di Gedung Chandra, Jalan Pancoran.

 

Petak Enam benar-benar menjelma menjadi sebuah miniatur perpaduan budaya yang komplet. Terutama budaya kuliner. Di situ, segala cita rasa ada. Masakan Nusantara cukup banyak pilihan. Sebut saja empek-empek Palembang, ketoprak, gado-gado, atau ayam geprek.

 

Makanan kiwari pun bertebaran. Mulai pizza, burger, hingga kafe-kafe berkonsep open bar.

 

Tentu saja, juga ada makanan khas Tionghoa yang kelezatannya masih otentik. Ini pun akan kami ceritakan dalam seri-seri mendatang…

 


Pintu masuk Petak Enam, pusat kuliner yang menyuguhkan cita rasa Nusantara.-Yulian Ibra-Harian Disway-

 

Menghabiskan hari di Petak Enam bisa diibaratkan sebagai perjumpaan dengan berbagai budaya. Semuanya sudah mewarnai keragaman Indonesia dengan keunikan masing-masing.

 

Warisan budaya khas pecinan itulah yang sampai kini begitu mewarnai Glodok. Warisan kaum pedagang.

 

Berbagai kalangan disatukan dalam satu gerakan roda ekonomi. Sama seperti di pelabuhan-pelabuhan Nusantara tempo doeloe. Tatkala pedagang berbagai bangsa bercampur menjadi satu. Melahirkan transaksi komoditas yang pada akhirnya juga berujung pada pertukaran budaya.

 

Itulah Glodok…

 

’’Glodok bukan hanya laboratorium kebangsaan. Tetapi, ini riil,’’ kata Andre.

 

Menjelang petang, Andre mengajak kami menjelajahi Glodok. Kami menelusuri gang-gang sempit dengan rumah yang saling berimpit. Pintu beberapa rumah terbuka. Menampakkan ruang tamu yang kecil. Sebagian tanpa perabot.

 

Ada ornamen khas Tionghoa. Juga hiasan menyambut Imlek yang berwarna merah.

 

Gang yang kami lewati cukup kecil. Rasanya hanya cukup dilewati oleh tiga orang berjajar. Tetapi, di dalam gang-gang itulah mutiara-mutiara peninggalan masa silam tersebut tetap terawat apik.

 

Di salah satu gang, kami berhenti. Ada dua bule yang mandek di ujung gang. Mereka memandang ke arah papan gang. Seperti kebingungan.

 

Andre tanggap. Ia mengajak dua turis itu bersama kami. Menelusuri jalanan Glodok. Menengok warisan berharga warga Tionghoa—juga warga Jakarta secara umum—yang sudah berusia ratusan tahun.

 

’’Do you want to see another temple? Come with me…” ajak Andre. (*)

 

*) Tim Harian Disway: Doan Widhiandono, Retna Christa, Yulian Ibra, Tira Mada

 

SERI BERIKUTNYA: Kelenteng Tua Benteng Budaya

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: