Kolak Ramadan

Kolak Ramadan

Ilustrasi cerpen Kolak Ramadan-Mu’awinati Isna Zilfia-Harian Disway

 

Kepada Muhammad Fathir Aijaz

 

Di mana pun kamu berada.

 

Fathir, ini sudah hari ke-20  berjalannya bulan Ramadan, tapi tak jua kamu berkabar, rinduku berkobar

 

Besok, saat kita akan merayakan malam Lailatul Qadar. Insya Allah jatuh pada 21  Ramadhan. Aku berharap kamu menemaniku belanja santan, gula merah dan pisang. Lalu memasak kolak pisang kesukaanmu. 

 

Entahlah calon suamiku, kamu mencintaiku karena apa? Karena kolak pisang buatanku yang legit atau karena perasaanku yang mencintaimu dengan hati yang tak pernah sempit?

 

Fathir, tadi setelah salat tahajud, aku melihat ibuku menangis di kamar selama semalam. Saat nanti kau ke sini, tolong rayu ibuku untuk berhenti menangis, ya. Bukan apa Fathir, tapi jika ibu sering menangis di kamar dan tidak mau sahur, mi dan telur yang ku buat selalu basi setiap hari.

 

Oh ya, aku sudah mengirimmu sayur sup dan ayam goreng, ku letakkan di meja depan rumahmu, ada rokok Surya dan kolak pisang legit yang kau suka di sampingnya.

 

Selamat Menunaikan Ibadah Puasa, Fathir.

 

Masih dengan mukenah putih lusuh namun wangi, ku selesaikan surat untuk calon imamku itu. Namun, ibu belum keluar juga. Bukankah setiap anak perempuan akan khawatir melihat ibunya berdiam diri di kamar. 

 

Waktu itu juga, aku mengingat perkataan pak kiai ketika berceramah setelah Tarawih. 

 

“Ramadhan adalah bulan yang penuh keberkahan dan di dalamnya terdapat suatu malam yang lebih baik dari seribu bulan. Pada bulan Ramadhan, nilai kebaikan dari setiap aktivitas yang bernilai ibadah menjadi lebih tinggi dari bulan-bulan lain. Bahkan, amal kebaikan dibalas dengan pahala yang berlipat ganda,” katanya. 

 

Ah, sebaiknya aku berwudhu dan Salat Dhuha sambil menunggu ibu keluar.

 

Setelah selesai Salat Dhuha, aku mengintip ibu dari pintu kamar yang sedikit terbuka. Aku tercengang melihat ibuku sedang berbicara dengan baju kesukaanku sambil menangis dan menciumi baju itu. 

 

Kubuka pintu itu perlahan dan duduk di sebelah kasurnya. “Ibu kenapa?” tanyaku lirih.

 

Dia tak menjawab pertanyaanku. Mungkin ia ingin sendiri. Maka kuputuskan untuk meninggalkannya. Siapa tahu siang nanti ibu sudah mendingan. Akan kutanyakan, mengapa ibu menangis? 

 

Aku pindah ke teras rumah. Mencari angin di bawah pohon mangga. Pikiranku kemana-mana. Mengapa ibu dan Fathir bersikap aneh belakangan ini. Apa aku sudah membuat kesalahan?

 

Fathir tak membalas suratku. Mie dan telur yang ku buat kemarin, tak pernah kucuci piringnya. Kalau aku ada salah tolong jangan didiamkan begini. Ngomong lah. Akan ku perbaiki sikapku.

 

Aku memutuskan ke rumah Fathir agar ketemu jawabannya. Kukirimkan surat yang kutulis pagi tadi. Sekalian menjemput piring yang kuberikan beberapa hari sebelumnya. Sebelum berangkat, aku tambahkan surat untuk Fathir.

 

Fathir, sebenarnya aku ini tak lagi pentingkah bagimu? Rencana menemaniku untuk belanja kemarin akhirnya gagal juga, aku belanja sendiri. Maaf jika nanti, rasa kolak pisangnya tak selegit biasanya. Aku membuatnya dengan perasaan sedih hati. Setidaknya, aku ingin kamu melihatku kali ini. Keluarlah nanti saat aku di rumahmu.

 

Fathir, tadi aku melihat ibu berbicara dengan baju kesukaanku sambil menangis dan menciumi baju itu. Fathir, sebenarnya apa yang terjadi? Aku takut dengan kesehatan ibuku, yang menangis tiada henti dan tidak makan dari kemarin.

 

Fathir, jika kamu tahu hal apa yang telah terjadi dengan ibuku, kamu bilang padaku. Aku takut ibu kenapa-kenapa. Meski beberapa hari ini kamu terlihat enggan menjumpaiku entah karena  masalah yang lain, sesungguhnya hati ini masih ku jaga setianya. Oh ya, katanya kamu mau bercerita tentang kenapa kamu sangat menyukai kolak pisang ku. Kapan?

 

Ku gulung surat itu, dan langsung bergegas ke barat menuju rumah Fathir. Kulangkahkan kaki ini agak cepat karena langit sudah menghitam. 

 

Dan betapa hancurnya aku begitu tiba di depan rumah Fathir. Makanan dan rokok beberapa hari lalu, tak tersentuh sedikitpun. Semuanya mengering terjemur matahari sengit. Tubuhku mematung. Mataku berkaca-kaca. Sepertinya aku tak berarti bagi  bagi Fathir.

 

“Klakk..” tiba-tiba terdengar suara pintu terbuka. Fathir muncul dengan mata sembab. 

 

“Fathir, engkau kenapa?” kataku sambil mendekat. Sikapnya sangat aneh. Sorot matanya mengarah ke mendung kelabu di kejauhan. 

 

Ia duduk, di samping meja dengan sisa kolak pisang kering beberapa hari lalu. Aku duduk di sampingnya, sambil menunggu kalimat keluar dari bibirnya. 

 

Tidak. Dia tak berkata apapun kepadaku. Fathir meletakkan kertas di meja itu lalu masuk dan menutup pintu. Rintik gerimis mulai turun. Tubuhku gemetaran. Tanganku mencoba meraih secarik kertas itu.

 

Nazila Nur Salsabila, aku sangat merindukanmu. Semoga suatu hari kau membaca surat rongsok ini. Sengaja aku letakkan surat ini setiap hari di meja, berharap suatu waktu kau ada dan membacanya.

 

Nazila, aku merindukanmu sekaligus kolak pisang buatanmu. Oh ya, kenapa aku begitu menyukai kolak pisangmu? Karena ia legit. Kolak berasal dari kata "Khalaqa" yang artinya menciptakan dan "Khaliq" yang memiliki arti Sang Pencipta. Jadi, kolak adalah simbol mendekatkan diri pada Sang Pencipta, terlebih saat bulan puasa.

 

Kamu sekarang sudah sangat dekat dengan Sang Khaliq Nazila, Sang Pencipta lebih sayang denganmu, begitupun aku. Aku akan tetap menyayangimu meski engkau tak mungkin bersamaku.

 

Napasku tercekat. Maksudnya apa? Dengan gemetar, ku teruskan membaca tulisannya.

 

Calon istriku namamu mempunyai arti yang indah: Turunya cahaya air mata surga, cahaya itu sudah kembali pada sang Khaliq. Di sujud terakhirmu ketika Tahajud, engkau pergi untuk selamanya. Semoga kepergianmu dalam keadaan Khusnul Khatimah. Secepat ini kamu menjadi kenangan, Nazila. Aku merindukanmu. Terkadang aku membayangkan ada semangkuk kolak buatanmu di meja terasku. (*)

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: