Series Jejak Naga Utara Jawa (36) : Keluarga Pelestari Budaya

Series Jejak Naga Utara Jawa (36) : Keluarga Pelestari Budaya

Potret keluarga besar Oei ini menunjukkan betapa rapinya pengarsipan mereka. Juga menunjukkan bahwa keluarga itu penuh orang terpelajar.-Retna Christa-Harian Disway-

Secara turun-temurun, keluarga Oei telaten merawat dan melestarikan budaya. Ya budaya Jawa, ya budaya peranakan. Semua terangkum dalam museum kecil yang menawan. 
 
SEPUCUK surat ditulis dengan bolpoin hitam di atas kertas yang sudah menguning. Tulisannya rapi, tegak bersambung. Diberi bingkai. Lalu digantung di salah satu sisi dinding Roemah Oei. Di samping sepotong kain batik berbentuk persegi. Yang juga dibingkai rapi. 

’’TAPLAK MEJA. Taplak batik tulis ini buatan Batikkery Papah & Mamah Oei Tiong Djioe. Saat saya berusia 11 th (th 1941), membantu menulis di kain batik Batikkerj Oei Tiong Djioe Indonesia. Saya adalah anak ke-4 dari 5 bersaudara,’’ demikian kalimat yang tertulis di atas surat tersebut. Tanggalnya Agustus 2018. Ditandatangani oleh Oei Bie Kiem pada usia 88 tahun. 

’’Keluarga ini turun temurun memang usaha batik. Yang persegi ini, taplak meja, buatan generasi kelima. Ini sisa produksinya,’’ kata Himawan Winata, pengelola Roemah Oei. 
 

Sebagaimana diceritakan, pendiri Roemah Oei, Oei Am, menikahi seorang gadis Lasem. Si gadis—yang diberi nama Tionghoa Tjioe Nio—piawai menari dan membatik. Skill itulah yang diturunkan kepada anak cucu Oei.

’’Kalau kain yang panjang itu, buatan generasi keempat. Motifnya peranakan. Warna merahnya disebut getih pitik, khas Lasem,’’ jelas Himawan. Ia menunjuk ke arah kain yang dipasang vertikal, di samping meja sembahyang. ’’Yang terakhir bikin batik itu generasi kelima. Generasi keenam sudah pindah ke Semarang, udah enggak mbatik,’’ tuturnya. 
 



Taplak batik yang dibuat oleh generasi terdahulu keluarga Oei di Lasem.-Retna Christa-Harian Disway-Masih banyak koleksi kain batik di Roemah Oei. Mereka disimpan di salah satu kamar terkunci. Karena masih dalam perawatan. 

Namun, tanpa melihat koleksi itu pun, tim Jejak Naga Utara Jawa sudah terpukau dengan koleksi yang di-display. Selain kain-kain sisa produksi, terdapat sehelai kebaya encim berwarna putih yang juga dibingkai. Dipasang di bawah potret hitam putih seorang perempuan bersanggul anggun. Gho Nie Tji Nio, 1941, teks yang tertulis di bagian bawah foto. Nenek Himawan. 

’’Coba perhatikan kancing-kancingnya,’’ ia berkata. Ketika didekati, terlihat bahwa tiga kancing mungil itu dihiasi foto. ’’Yang tengah itu nenek saya. Paling atas suaminya, generasi kelima Oei. Paling bawah anaknya,’’ jelas pria 57 tahun tersebut. 

Di bawah kebaya itu, terdapat sebuah etalase penuh berisi kebaya encim aneka warna. Disimpan di kotak-kotak karton. Menunjukkan kekayaan budaya masa silam yang masih anggun hingga sekarang. 
 
Kebaya encim dengan kancing berisi potret yang ditunjukkan oleh Himawan di Roemah Oei Lasem.-Retna Christa-Harian Disway-

Di seberangnya, ada etalase lagi. Kali ini, isinya adalah koleksi kaset dari era 70-an sampai 90-an. Selera si pemilik kaset rupanya beragam. Ada gending jawa Waldjinah dan Ki Nartosabdo, rekaman pertunjukan wayang orang (lakonnya Gatotkaca Lahir sampai Parto Kromo), latihan percakapan bahasa Mandarin, hingga kumpulan tembang kenangan berbahasa Inggris maupun Indonesia. 

Eh, tapi, nyempil juga kaset The Corrs album Best of, serta Backstreet Boys Black & Blue. Perwakilan era 2000an.   
 
Koleksi kaset keluarga Oei ini menunjukkan selera seni mereka yang tinggi.-Retna Christa-Harian Disway-

’’Ini kalau mau lihat silsilah keluarga saya,’’ kata Himawan tiba-tiba. Ia mengajak kami ke salah satu kamar. Kamar Oei Joe King. Diambil dari nama generasi ketiga Oei. Di salah satu dindingnya, terdapat ratusan foto anggota keluarga Oei. Mulai generasi pertama. Sampai kedelapan. Masing-masing ditulis nama dan generasinya. Pengarsipannya luar biasa. 

Dari foto-foto itu, bisa dilihat bahwa keluarga Oei adalah golongan terpelajar. Tak heran kalau semua ’’jadi orang’’. Bahkan tak sedikit yang jadi profesor. Misalnya Hardhono Susanto, generasi ketujuh, akademisi di Universitas Diponegoro Semarang. Ada Ir Hadi Sutanto, generasi VI, di Unika Atmajaya Jakarta. Juga Prof Oei May Ling, PhD. Guru besar perempuan pertama di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. 

Sedangkan Grace Widjaja, generasi ketujuh yang merupakan pemilik Roemah Oei sekarang, adalah dokter gigi. Dia tinggal di Semarang bersama sang suami, Hardhono Susanto, profesor ilmu gizi. 

Menurut Himawan, anggota keluarga Oei kini berjumlah lebih dari 500 orang. Sudah sembilan generasi. Pada 2018, mereka menggelar reuni 200 tahun lahirnya keluarga Oei. ’’Yang datang sekitar 200-an. Itu aja udah ruame. Seneng ketemu saudara-saudara,’’ kenang Himawan, lantas tersenyum. (*)
 
Tim Harian Disway: Doan Widhiandono, Retna Christa, Yulian Ibra, Tira Mada
 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: