Series Jejak Naga Utara Jawa (35) : Pengusaha Tapioka dan Putri Jawa

Series Jejak Naga Utara Jawa (35) : Pengusaha Tapioka dan Putri Jawa

Altar leluhur yang menjadi pusat atensi pengunjung di Roemah Oei Lasem.-Retna Christa-Harian Disway-

Kemegahan Roemah Oei membuat kami bertanya-tanya. Orang macam apa yang mendirikannya. Secara arsitektur, rumah itu sangat khas Tionghoa. Tapi, perabot-perabotnya Jawa banget. 

’’KAKEK moyang saya dulu pengusaha tapioka. Cukup sukses,’’ kata Himawan Winata, pengelola Roemah Oei, kepada tim ekspedisi Jejak Naga Utara Jawa. ’’Sama nyewa-nyewain pedati itu. Tanahnya kan luas. Jadi bagian depannya buat rumah. Halaman belakang buat nyimpen pedati sama istal sapi,’’ tuturnya. 

Oei Am nama kakek moyang Himawan. Ia lahir di Fujian, Tiongkok, pada 1798. Pada usia 15 tahun, ia ikut ayahnya merantau ke Nusantara. Mendarat di Lasem. Setelah urusan dagang selesai, ayahnya kembali ke Tiongkok. Oei Am tidak ikut. Ia memilih menetap di kota kecil di pesisir utara Jawa tersebut. 

Pemuda itu menjalankan bisnis tapioka dengan giat. Hanya dalam dua tahun, usahanya berkembang pesat, dan ia berani mempersunting seorang gadis Lasem. Gadis Jawa itu diberi nama Tjioe Nio. Tjio artinya cantik atau manis. 

’’Menurut cerita, Tjioe Nio ini pintar menari dan membatik. Makanya banyak nenek moyang saya yang meneruskan usaha batik juga,’’ jelas Himawan. Ia sendiri punya nama asli Oei Ling Hiem. Keturunan Oei Am generasi ketujuh. 
 

Sebagai pengusaha muda yang sukses, tak sulit bagi Oei Am untuk membangun hunian megah di Jalan Jatirogo 10. Bangunan yang kelak diberi nama Roemah Oei itu berdiri pada 1818, ketika Oei Am baru berusia 20 tahun. Zaman sekarang, anak-anak seusia itu masih sibuk ngopi sambil menikmati senja… 

Ciri Tionghoa yang sangat kental mewarnai rumah tersebut. Sebagaimana diceritakan, bagian depannya terdiri dari dua layer. Yakni pagar tembok dengan pintu gerbang yang bubungan atapnya berbentuk ekor walet. Serta bangunan utama. Antara pagar dengan rumah dipisahkan halaman selebar kira-kira lima meter. Kini, halaman yang dinaungi pohon mangga itu disulap jadi kedai kopi. 
 

Perabot kayu berukir yang menambah daya tarik Roemah Oei di Lasem.-Retna Christa-Harian Disway-

Bangunan utama masih menerapkan prinsip hirarki ruang khas Tionghoa. Di depan, pengunjung akan disambut teras berubin terakota. Terdapat dua pilar kayu sederhana. Tanpa ukiran. Pintunya—yang dicat cokelat dengan lis kuning keemasan, memperlihatkan usia bangunan. Catnya sudah mengelupas di sana-sini. Namun kayunya masih tampak kokoh. 

Bagian dalam bangunan, yang kini dijadikan museum, terbagi dari dua ruangan. Ada hall besar yang dulu difungsikan sebagai ruang tamu. Lalu di tengah-tengahnya ada meja sembahyang. Diapit dua kamar tidur besar. Mungkin, Oei Am dan istrinya yang jelita tidur di ruang besar itu. Di balik meja sembahyang, ada ruang belakang. Ada dua kamar lagi yang lebih kecil. Kamar anak-anak. 

Nah, meskipun dipenuhi ornamen Tionghoa, ada beberapa elemen di rumah itu yang Jawa banget. Misalnya, langit-langit rumah tersusun dari bilah-bilah kayu. Beberapa furniturnya, misalnya set meja kursi di kamar depan dan di balik meja sembahyang, juga dihiasi ukiran khas keraton-keraton Jawa. Kemudian, antara ruang tengah dengan belakang dipisahkan oleh partisi kayu, mirip gebyok. 

Sangat njawani

Rumah itu diwariskan dari generasi ke generasi. Sampai generasi ketiga, keluarga besar Oei masih tinggal di sana semua. Namun, generasi keempat dan kelima pindah ke Semarang. Termasuk kakek nenek Himawan. Rumah itu kosong. 

Penyebabnya, siapa lagi kalau bukan Soeharto. Yang melarang segala atribut Tionghoa nampang. Bahkan kakek nenek Himawan harus menurunkan segala ornamen hiasan berbau Tionghoa dari rumah itu. Sampai Orde Baru runtuh, tak ada keturunan Oei yang kembali ke Lasem. Hingga akhirnya, rumah itu jatuh ke tangan Grace Widjaja, generasi ketujuh Oei. Sepupu Himawan. 

’’Ya pas 2016 itu mulai dibangun-bangun. Dibersihkan. Apalagi halaman belakang ini. Dulu udah kayak hutan aja,’’ kenang Himawan. Ia menceritakan, keluarga jarang sekali menengok rumah itu. Hanya setahun sekali, saat cengbeng. Alias ziarah makam. ’’Ya cuma nengok aja. Paling sepuluh menit. Lalu langsung balik ke Semarang,’’ jelasnya, lantas tertawa. 
 
Foto-foto tokoh peranakan Tionghoa yang mewarnai sejarah Indonesia.-Retna Christa-Harian Disway-

Grace-lah yang berinisiatif menghidupkan kembali rumah warisan nenek moyang tersebut. Dia berkonsultasi dengan berbagai pihak, termasuk pakar budaya, untuk mendandani Roemah Oei. Dia berprinsip, rumah itu harus dipertahankan keasliannya. Agar tampak orisinal. Alhasil, dia tak mengubah apa pun. Dindingnya, pilar-pilarnya, lantainya, semua asli.  

Ornamen-ornamen Tionghoa yang dulu disembunyikan, dipasang lagi. Foto-foto, pepatah-pepatah, dan sebagainya. Namun, karena dia adalah pegiat budaya, Grace juga memasukkan unsur-unsur Jawa. Seperti primbon dan syair Joyo Boyo. Perpaduan yang membuat Roemah Oei semakin kaya makna. (*)
 
*) Tim Harian Disway: Doan Widhiandono, Retna Christa, Yulian Ibra, Tira Mada
 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: