Series Jejak Naga Utara Jawa (34) : Kamar Lawas Anti Seram

Series Jejak Naga Utara Jawa (34) : Kamar Lawas Anti Seram

Kamar modern dengan nuansa klasik di Wisma Pamilie, kompleks Roemah Oei, Lasem.-Retna Christa-Harian Disway-

Apa yang bikin tim ekspedisi Jejak Naga Utara Jawa begitu menyesal tidak menginap di Roemah Oei Lasem? Di penginapan di Jalan Jatirogo 10 itu, terdapat paviliun berisi kamar-kamar yang nuansanya lebih modern. Enggak serem sama sekali! 

PENGINAPAN di Roemah Oei, yang disebut Wisma Pamilie, mulai dibangun pada akhir 2016. Awalnya hanya kamar-kamar di belakang bangunan utama. Yang disebut Omah Gede itu. Namun, pada 2017, ditambah satu bangunan besar dua lantai di seberang Omah Gede. Dipisahkan oleh halaman luas yang menjadi tempat parkir tamu. 

’’Mulai akhir 2017, sudah banyak yang menginap di sini,’’ kata Himawan Winata, pengelola Roemah Oei. Pria 57 tahun itu adalah sepupu Grace Widjaja, pemilik kompleks rumah kuno tersebut. Keduanya merupakan keturunan ketujuh Oei Am, pendiri Roemah Oei. 

Wisma Pamilie terdiri atas 15 kamar. Macam-macam kelasnya. Mulai dari yang VVIP, berisi satu tempat tidur king size berkapasitas dua orang. Kamar VIP, dengan satu king size bed dan dua single bed untuk empat orang. Kamar single. Hingga yang buat rame-rame dengan tempat tidur tingkat. Bisa untuk lima sampai enam orang. Harganya juga bervariasi. 
 

Himawan mengajak kami berkeliling. Alih-alih nomor, kamar-kamarnya diberi nama tokoh pewayangan. Ada Baladewa, Kresna, Rama Shinta, serta Gatotkaca. Ada pula yang memakai nama anak-anak Pandawa. Yudistira, Bima, Arjuna, Nakula, dan Sadewa.  

Kamar VVIP, yang hanya buat berdua itu, diberi nama Kamajaya Kamaratih. Pasangan dewa dewi perlambang cinta sejati. Tarifnya Rp 650 ribu semalam. Cocok buat honeymoon. Sedangkan kamar Rama Shinta berisi tempat tidur antik. Berupa four poster bed dari besi. Cat yang mengelupas di sana-sini, lukisan yang memudar, menunjukkan betapa tua usia ranjang itu. 

Ranjang antik di dalam kamar Rama-Sinta.-Retna Christa-Harian Disway-

Ini agak berbeda dengan Rumah Merah Lasem. Di penginapan itu, kamar-kamarnya diberi nama kota-kota di Tiongkok. Ada Nanning, Beijing, Guangzhou, Shanghai, dan sebagainya. Itu adalah tempat-tempat yang pernah dikunjungi Rudy Hartono, sang owner. ’’Kalau di sini wayang. Soalnya sepupu saya, Bu Grace, suka wayang,’’ jelas Himawan. 
 

Kamar-kamar itu memang bernuansa retro. Pintunya—yang dicat cokelat tua dengan lis kuning keemasan—menggunakan model dutch. Yang daun pintunya terdiri dari dua bagian terpisah. Atas bawah. Di samping pintu, ada dua jendela kecil. Dilapisi gorden putih tipis. Persis rumah-rumah zaman dulu. 

Namun, bagian dalamnya jauh dari kesan suram. Dindingnya dicat putih. Dihias aksara-aksara Tionghoa berisi kata-kata bijak yang dibingkai. 

Dinding minimalis itu berpadu manis dengan furnitur kayu yang dipelitur cokelat kemerahan. Mulai dipan, meja kursi, serta meja rias atau cermin oval dengan ukiran motif mawar yang menempel di dinding. Di depan pintu kamar mandi, ada jendela kaca besar. Sinar matahari leluasa membanjiri kamar. ’’Sengaja enggak dikasih TV. Biar kesan klasiknya terjaga,’’ jelas Himawan, lantas terkikik. 

Ada satu kesamaan antara Wisma Pamilie dengan Rumah Merah. Kamar mandinya modern. Hampir seluruhnya berwarna putih. Dengan kloset duduk, shower, serta bak mandi teraso berbentuk gentong gendut yang memperkuat kesan natural. Cakep sekali. 

Makin menyesallah kami tidak menginap di sana! 
 
Kamar-kamar di Wisma Pamilie, kompleks Roemah Oei, menggunakan nama tokoh pewayangan.-Retna Christa-Harian Disway-

Saat asyik menjelajah kamar, tiba-tiba terdengar suara keras. ’’Inilah Radio Suara Lasem Republik Indonesia. Pada gelombang 181,8 FM. Saatnya warta berita pagi.’’ 

Kami terkesiap. Berderet kata-kata latah berlompatan keluar dari mulut. Himawan terkekeh. Rupanya, siaran warta berita radio itu bersumber dari pengeras suara yang dipasang di salah satu sudut bangunan. ’’Tiap jam 7 pagi kita putar ini. Biar tamu pada bangun,’’ kata Himawan. Lalu terkekeh lagi. 
 
Wsma Pamilie yang terletak di belakang Omah Gede, bekas rumah yang jadi museum keluarga.-Retna Christa-Harian Disway-

Ada satu kamar lagi yang menarik. Lokasinya di rumah utama. Jadi satu dengan museum. Namanya kamar Oei Am. 

Berbeda dengan penginapan di belakang, kamar itu sama sekali tidak diubah dari bentuk aslinya. Lantainya masih terakota yang sudah memudar. Isinya dua single bed kuno dari besi dan satu meja. Lampunya hanya satu. Remang-remang pula. Tak ada kamar mandi, apalagi coffee maker. Itulah kamar yang tempo hari bikin kami ngeper.

’’Wah, itu laris, lho. Banyak yang sengaja memilih kamar itu. Biar kesan kunonya dapet, katanya,’’ kata Himawan, lalu tertawa. ’’Kalau nginep di sana, ya segedung sendirian. Ada penjaga, di kamar depan. Tapi enggak ada tamu lain. Harus (orang yang) pemberani,’’ imbuhnya.     

Ok deh, kami rela disebut tidak pemberani… (*)
 
*) Tim Harian Disway: Doan Widhiandono, Retna Christa, Yulian Ibra, Tira Mada
 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: