Series Jejak Naga Utara Jawa (42) : Keraton Anti Tusuk Sate

Series Jejak Naga Utara Jawa (42) : Keraton Anti Tusuk Sate

Raden Nanung Suradi menunjukkan arsitektur Jinem Pangrawit atau serambi depan Keraton Kasepuhan Cirebon.-Yulian Ibra-Harian Disway-

Keraton Kasepuhan Cirebon adalah perpaduan cantik antara langgam arsitektur nusantara dan Tionghoa. Plus sedikit sentuhan kolonial. Prinsip-prinsip fengsui masih dijunjung tinggi. 
 
KOMPLEKS Keraton Kasepuhan sebenarnya sudah berdiri di akhir abad ke-15. Yang membangun adalah Raden Walangsungsang, penguasa Cirebon yang naik takhta pada 1470. Tapi, namanya Keraton Pangkuwati. Diambil dari nama putri kesayangan sang raja. 

Lalu, kapan berubah nama menjadi Keraton Kasepuhan? 

Itu diawali dari pecahnya Kesultanan Cirebon pecah pada 1677. Setelah sultan ketiga Cirebon wafat. Kedua anaknya mendirikan kesultanan sendiri-sendiri. Kerajaan sang kakak disebut Kasepuhan. Artinya sepuh, atau tua. Sedangkan kerajaan adiknya dinamakan Kanoman. Atau yang dipimpin oleh sultan yang lebih muda. 

Sang adik membangun keraton baru. Sedangkan sang kakak berdiam di Keraton Pangkuwati. Yang akhirnya berubah nama menjadi Keraton Kasepuhan. ’’Artinya keraton yang didiami oleh raja yang lebih sepuh,’’ jelas Raden Nanung Suradi, Wakil Kepala Pemandu Yayasan BPKK yang menemani tim Jejak Naga Utara Jawa menjelajahi keraton. 
 

Keraton Kasepuhan tampak sangat bersahaja. Usia uzurnya terlihat jelas dari fisik bangunan. Dinding-dindingnya kusam, meski berusaha ditutupi dengan cat baru. Beberapa bagian sudah mengelupas. 

Raden Nanung memandu kami melintasi Pintu Gledegan. Yang menghubungkan bagian depan keraton dengan kompleks Bangsal Keraton. Begitu masuk, kami disambut dengan taman berbentuk bundar yang luas. Namanya Taman Bunderan Dewandaru. 

Jalan setapak dibangun mengelilingi taman tersebut. Bangunan keraton terletak di tengah-tengah. Tidak lurus dengan Pintu Gledegan. ’’Keraton ini menerapkan prinsip-prinsip fengsui. Yang paling kentara adalah, tidak ada satu pun bangunan yang modelnya tusuk sate,’’ papar Nanung. 
 

Pintu bergaya Tionghoa yang memisahkan Jinem Pangrawit dengan Gajah Nguling di Keraton Kasepuhan Cirebon.-Yulian Ibra-Harian Disway-

Kami tiba di Jinem Pangrawit. Serambi depan keraton. Dulu dipakai para pangeran patih atau wakil sultan untuk menerima tamu. Di teras tanpa dinding itu, terdapat delapan pilar. Empat pilar terbuat dari beton yang dicat putih. Bergaya kolonial. Sedangkan yang empat lagi dari kayu, berwarna hijau. Dihiasi ukiran-ukiran Tionghoa.  

’’Memang di sini unsur-unsur kebudayaan Eropa dan Timur saling mempengaruhi. Budaya timur itu bukan cuma Tionghoa. Tapi juga Nusantara. Sunda dan Jawa,’’ tutur Nanung. 

Langit-langitnya yang dicat hijau dihiasi ukiran tumpang sari yang banyak menginspirasi motif batik. Pada balok penyangga langit-langit, ada ukiran juga. Terdiri dari sulur-sulur hijau dan bunga-bungaan berwarna merah dan emas khas Tionghoa. 

Di dalam keraton dipercaya ada empat unsur. Api, air, udara, dan tanah. Api, atau hawa panas adalah perlambang hawa nafsu. Diperlukan agar kita bersemangat bekerja, mencari rejeki. Tapi juga harus diimbangi dengan unsur air agar adem. Caranya adalah dengan rajin beribadah. Biar setan tidak masuk. 

’’Makanya kalau orang Tionghoa, untuk mencegah rumah kemasukan iblis, maka di teras ditaruh kursi goyang. Harapannya, kalau ada setan, ia kepleset,’’ kata Nanung. Ekspresinya serius. 

Di balik jinem pengrawit, ada bangunan yang disebut Gajah Nguling. Bangunan tanpa dinding itu menghubungkan teras dengan Bangsal Pringgandani. Tempat para bupati sowan kepada sultan. PRA Luqman Zulkaedin, Sultan Cirebon yang sekarang, masih sering menerima Bupati Cirebon, Indramayu, Kuningan, dan Majalengka di ruangan itu.

Di belakangnya lagi ada Bangsal Prabyaksa, ruangan raja. Kata Nanung, ada bermacam koleksi barang antik. Lampu-lampu kuno dari Prancis dan Belanda, lukisan dari Jerman, hingga piring-piring keramik dari Tiongkok. ’’Di dindingnya ada lukisan yang menggambarkan isi Alkitab Perjanjian Lama,’’ ungkapnya. Sayang, ruangan itu tak boleh dimasuki. 

Dari Bangsal Prabyaksa, ada tangga kecil menuju semacam panggung. Di situlah tempat singgasana raja. Ruangannya dihiasi ornamen-ornamen bunga lotus di atas air. Bunga adalah perlambang raja. Sedangkan air adalah rakyat. Ini menjadi simbol kebesaran raja Nusantara. ’’Di Tiongkok, lotus juga menjadi lambang raja. Karena sebenarnya Nusantara, Tiongkok, Jepang, dan Korea itu kan satu kultur,’’ kata Nanung. 
 

Bangunan Keraton Kasepuhan Cirebon terletak di tengah-tengah kompleks tetapi tidak segaris lurus dengan pintu gerbang.-Yulian Ibra-Harian Disway-

Ruangan itu juga mengusung prinsip fengsui. Lantainya berbelok-belok. Tidak lurus dengan pintu. Sehingga, dari luar, singgasana hanya terlihat separo. ’’Pokoknya anti-tusuk sate. Selain untuk alasan privasi, juga untuk pertahanan,’’ jelas Nanung. 

’’Kalau diserang musuh, misalnya, raja masih punya kesempatan untuk melarikan diri dan merancang perlawanan. Kalau tusuk sate kan musuh bisa langsung masuk-masuk aja,’’ kata Nanung. ’’Cuma kekurangannya, dengan desain seperti ini, sultan jadi sulit memanggil pembantunya yang di luar,’’ imbuhnya, masih dengan ekspresi serius.   

Yang menarik adalah, di atas tiap-tiap pintu, terdapat ukiran sulur dan bunga-bungaan juga. Di dalam bunga, terdapat putik berjumlah lima dan enam. Yang lima melambangkan rukun islam. Sedangkan yang enam lambang rukun iman. Bahkan ada yang melambangkan jumlah rakaat salat rawatib. 
 
’'Cirebon ini kan kesultanan Islam. Jadi ya memang banyak simbol-simbol yang ditujukan untuk syiar. Tapi arsitekturnya dipengaruhi oleh Tionghoa,’’ ia menyimpulkan. Akulturasi memang selalu memesona. (*)
 
Tim Harian Disway : Doan Widhiandono, Retna Christa, Yulian Ibra, Tira Mada.
 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: