Soe Tjen Marching dan Fakta Gerakan 1 Oktober 1965: Menuduh PKI untuk Lunasi Utang (17)

Soe Tjen Marching dan Fakta Gerakan 1 Oktober 1965: Menuduh PKI untuk Lunasi Utang (17)

Soe Tjen Marching duduk di halaman kediamannya, di Jalan Putro Agung Surabaya. -Elvina Talitha Alawiyah-

HARIAN DISWAY - Peristiwa 1 Oktober 1965 benar-benar membawa dampak buruk. Mereka yang tak tahu menahu jadi korban. Begitu pun dengan nasib warga Tionghoa. Perempuan tua bekas Gerwani itu menyaksikan langsung, lantas bercerita pada Soe Tjen Marching.
 
(Orang-orang) Tionghoa bukan pendarat dari luar negeri. Mereka sudah ada sejak nenek moyang kita. Mereka itu sebenarnya orang-orang Indonesia, yang hidup dan mati di Indonesia juga. Tetapi karena sesuatu tabir politik, tiba-tiba menjadi orang asing yang tidak asing.

Kritik bersejarah itu dilontarkan sastrawan besar Pramoedya Ananta Toer. Menyikapi pengejaran pada warga Tionghoa yang terjadi pada 1959-1960. Pengejaran itu merupakan titik puncak dari dikembangkannya politik anti-Tionghoa yang muncul sejak 1956.

"Ingat pada kritik Pak Pramoedya. Sampeyan bisa baca dalam buku beliau, Hoakiau di Indonesia. Tabir politik. Ya, politik yang menjadikan kita berbeda. Politik yang memecah belah nasion kita," ujar perempuan tua bekas Gerwani itu pada Soe Tjen. 

Baginya, kritik Pramoedya itu relevan sepanjang zaman, terutama saat sentimen anti-Tionghoa menguat. "Di mata Pramoedya, perlu sampeyan tahu, mbak, orang Tionghoa adalah bagian yang tak terpisahkan dari bangsa Indonesia," ujarnya lagi.

Soe Tjen mengangguk. Saat itu dia merenung, teringat masa kecilnya. Tentang pengalaman saat dia di cino-cino-kan orang banyak dengan pandangan sinis. Seolah diri dan keluarganya yang sedari dulu tinggal, hidup di Indonesia adalah warga pendatang belaka. Padahal moyang dari orang yang mengaku dirinya pribumi, belum tentu tak mengalir darah Tionghoa di nadinya.

Perempuan tua itu masih ingat. Di dalam iklan berbagai surat kabar tentang kemunculan buku Hoakiau di Indonesia, memuat pesan: "Kenalilah minoritas-minoritas di Indonesia untuk mendapat gambaran yang jelas tentang tanah air dan rakyat Indonesia". 

Sejenak perempuan itu menghela napas. Dalam usianya yang telah lebih dari 80 tahun ketika itu, ingatannya masih tajam. Lancar bercerita, terutama tentang kepedihan-kepedihan masa lalu. Sebagai mantan Gerwani, pengalaman membacanya banyak. Wawasannya luas. Wajar, karena perempuan Gerwani dididik untuk menjadi perempuan terpelajar.

Maka tuduhan para Gerwani memperkosa, menyiksa, kemudian menari nandak-nandak sambil telanjang di antara para jenderal yang sekarat, ditolaknya mentah-mentah. Dia tahu kiprah Gerwani. Seorang perempuan terpelajar dari Gerwani tak mungkin berbuat itu.

"Dan..ya (kembali menghela napas), politik! Pasca 1965, diskriminasi lebih marak. Fitnah terhadap orang Tionghoa semakin menjadi-jadi," ujarnya. Dia masih ingat, saat itu banyak pedagang-pedagang Tionghoa yang menyerahkan barang dan emas mereka pada sekelompok pemuda. Supaya mereka dilindungi.

Sebab, desas-desus menyeruak, bahwa para Tionghoa banyak jadi sasaran fitnah. Perempuan itu juga mendapat kabar ketika itu, seorang Tionghoa kenalannya dari sebuah desa, diseret tengah malam tanpa alasan yang jelas. "Dituduh terlibat PKI. Padahal orang itu enggak paham apa-apa soal politik," ungkapnya.

Usut punya usut, beberapa pengurus kampung memiliki sejumlah utang padanya. Cara terbaik untuk melunasi utang tanpa membayar, adalah dengan menuduh ia terlibat PKI. Setelah diseret, pria Tionghoa itu dihabisi tanpa ampun di depan anak-istrinya. Supaya mereka terteror dan tak menuntut apa pun di kemudian hari.

Ketegangan di tengah mencekamnya suasana pasca-Gerakan 1 Oktober 1965 berlangsung sampai ke rumah-rumah warga Tionghoa. Mama Soe Tjen, Yuliani, dan ketiga kakaknya pernah merasakan pengalaman itu. Terutama ketika papa mereka, Oei Lian Bing dijebloskan ke penjara karena difitnah.

"Kalau mendengar cerita perempuan tua itu, saya jadi ingat pula cerita mama. Saat itu rumah dibiarkan gelap. Hanya menggunakan lilin satu-dua saja. Jangan ada suara mencolok. Biarkan rumah seperti tak ada penghuninya. Bahkan jalan pun sambil jinjit," ungkap Soe Tjen.
Soe Tjen Marching dan kakaknya, Suyinani Gunawan yang lahir waktu papa mereka dipenjara. Kini Suyinani tinggal di Kanada.-Soe Tjen Marching-

Mamanya pun kehilangan pekerjaan sebagai pengajar di sebuah sekolah Tionghoa di Surabaya. Sekolah yang berbau Tionghoa ditutup. Dilarang beroperasi. Segala hal yang berbau Tionghoa diberangus. Ketika itu Yuliani dan semua muridnya tertunduk lesu, pada hari terakhir sekolah mereka beroperasi.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: