Penjurian Lapangan Brawijaya Awards (5): Bernyanyi dan Berjoget di Trenggalek

Penjurian Lapangan Brawijaya Awards (5): Bernyanyi dan Berjoget di Trenggalek

Ketua Tim Juri 1, Guruh Dimas bernyanyi dan juri akademisi, Dosen Probo bersama babinsa Sertu Lasa serta undangan berjoget diiringi campursari binaan Sertu Lasa.-Boy Slamet-

Dari Ponorogo lalu ke Pacitan dan ke Trenggalek. Di Trenggalek ada dua Babinsa yang harus kami kunjungi. Jarak dari kota ke kota ini tak main-main. Sangat jauh dan memakan waktu. Kami harus berpacu sekencang-kencangnya. 

Tak rugi satu tim ada Azka. Videografer sekaligus driver tim 1 yang lihai. Meski tubuhnya kecil dan jarak antara dagu dan kemudi tak sampai sejengkal, ia mampu menyetir dengan baik. Mahasiswa jurusan Ilmu Sejarah Unair yang kami juluki "anak belum sunat" itu membawa kami melaju. Dengan mobil Honda B-RV yang suspensinya sangat nyaman itu.

Perjalanan menuju Pacitan sangat berliku. Jalurnya lumayan ekstrem. Wilayah perbukitan yang naik-turun. Fotografer kami, Pak Boy Slamet sangat hapal dengan rute itu. Beberapa kali ia memberi tahu tentang sudut-sudut jalan di Pacitan. Lalu menunjukkan arah ini menuju kota ini, arah itu menuju kota itu, dan seterusnya.


Juri Guruh Dimas (flanel merah ) saat disambut oleh Sertu Purwanto Babinsa Desa Cengkong, Kecamatan Tamaman, Kabupaten Trenggalek dengan inovasi pemberantasan buta huruf.-Boy Slamet-

Sesekali ia tersenyum lebar usai memamerkan pengetahuannya. Tertawa dengan kumis tipisnya yang ikut terangkat. Kumis tipis yang setipis slip gaji. Tidak enak dilihat. Saya curiga, Pak Boy dulu mantan sopir bus antarkota. Lalu beralih profesi jadi fotografer.

Kami sampai di Kodim Pacitan. Diterima pasiter setempat, lalu ditemani beberapa tentara, melaju ke Desa Bomo, Kecamatan Punung. Di situ kami menemui Sertu Muhammad Zuhana, yang membina UMKM setempat, memproduksi kripik dan sale pisang. Ibu Camat Punung juga hadir menyambut kami. 

Sertu Zuhana mengajak kami ke kediaman pelaku UMKM. Letaknya di desa yang berada di lereng perbukitan. Kami berjalan ke atas bersama-sama. Di sana terdapat beberapa perempuan yang sedang memproduksi sale dan kripik pisang. Sertu Zuhana bahkan ikut membantu proses pengemasan.

Setelah melakukan penjurian, sembari mencicipi sale dan kripik pisang, bahkan menyantap pisangnya langsung, kami berpamitan. Harus segera menuju Trenggalek karena senja telah tiba. Estimasi waktu yang kami kabarkan pada tiap pasiter, tentu terlewat jauh. Tiga jam dari Pacitan.

Kami bukan Anoman yang dengan mudah menyeberang dari Ayodya ke Alengka sembari mengibaskan ekor. Kami hanya manusia biasa. Seorang dosen, wartawan, fotografer, dan "anak belum sunat". Tak punya kesaktian apa pun. Jadi kami harus berpacu dengan waktu.

Melewati medan ekstrim dengan kecepatan tinggi, Honda B-RV mampu melakukannya. Apalagi ketika Dosen Probo mengambil-alih kemudi. Sifat asli seseorang dapat diketahui, salah satunya ketika ia menyetir. Sat-set, war-wer. Nyalinya tinggi meski pembawaannya tenang.

Dalam perjalanan, Pak Boy memberi tahu bahwa Dian Agustina, anak Ibu Sunarti, pelaku UMKM Desa Bomo, parasnya cukup manis. Ketika di sana, Pak Boy berbincang dengannya sembari menunjuk saya, dosen Probo, dan Azka. Mengenalkan kami padanya. 

"Itu Pak Probo dosen Unair. Sebelahnya, Guruh, dari redaksi Harian Disway. Kalau yang kecil itu enggak perlu tahu, mbak. Masih belum sunat," katanya. 

Lalu gimana jawaban Dian? 

"Wah ya dia terkesima," katanya. 

Penasaran, saya tanya, "Terkesimanya sama siapa? Saya atau Probo?". Pak Boy langsung buang muka. Dianggapnya pertanyaan saya adalah pertanyaan konyol. "He, Ruh, ndelok prejengane ae wes eruh nek Dian tertarik e nang Probo (lihat mukanya saja sudah tahu kalau Dian lebih tertarik ke Probo)," jawabnya. 

Sumber: