Natural atau Teknik Filter: Membincang Kepedean Gus Imin dalam Bursa Pilpres 2024

Natural atau Teknik Filter: Membincang Kepedean Gus Imin dalam Bursa Pilpres 2024

Ketua Umum PKB, Abdul Muhaimin Iskandar-Intan Afrida Rafni-

KETUA Umum PKB Muhaimin Iskandar belakangan muncul lagi. Gus Imin, sapaannya, sungguh adalah fenomena. Unik. Layak terus dibincang. 

Terus terang, saya tidak memiliki gambaran yang lebih mudah untuk dimengerti dalam menjelaskan profil tokoh yang satu ini. Manuvernya selalu menarik untuk diikuti. Ayo, kita bincang di sini.

Tiba-tiba beranda akun TikTok saya berkali-kali dihampiri konten beraneka. Semua backsound-nya adalah suara Gus Imin ketika dengan santai menjawab pertanyaan awak media. 

”Betul, saya diperintah oleh para kiai, dewan syuro, ijtimak ulama untuk tidak boleh nyalon legislatif karena dipersiapkan untuk nyalon presiden. Presiden atau wapres. Kalau tidak capres, ya cawapres. Yang penting bukan wantimpres,” jawab Gus Imin seusai mendaftarkan PKB ke kantor KPU RI, 13 Mei 2023.

Tak pelak, kepercayaan diri ala Gus Imin memicu reaksi netizen dengan sudut pandang masing-masing. Sudut pandang yang apatis –atau memang sudah tidak atau belum suka dengan gaya Gus Imin (rasa-rasanya sebagian besar netizen dengan sudut pandang ini adalah netizen yang dimobilisasi)– menilai pernyataan yang blak-blakan itu sebagai suatu sikap yang ambisius. 

Bahkan, banyak pula komentar yang arahnya adalah merendahkan. Meski, banyak pula komentar netizen yang memberikan pembelaan.

BACA JUGA:Angelina, Mahasiswi Fakultas Hukum Ubaya, Tewas di Tangan Guru Les Musiknya

BACA JUGA:Utang Lama Ditagih CMNP Lagi

Sampai pada poin itu, saya ingin mengajak pembaca menghubungkannya dengan ulasan Rhenald Kasali, di akun YouTube-nya baru-baru ini dengan judul Kita Dipaksa Percaya bahwa Proporsional Terbuka Sistem Terbaik. Benarkah?. 

Dalam konten tersebut, Rhenald Kasali menyebut era demokrasi di tengah disrupsi media saat ini, aktor-aktor politik cenderung menikmati menggunakan teknik filter. Tidak peduli capres, cawapres, calon anggota legislatif DPR RI, DPD, dan DPRD, semua berlomba-lomba menghiasi diri mereka dengan aneka make-up yang menjadikannya kehilangan orisinalitas. 

Pencitraan. Begitulah kira-kira term yang biasanya mudah dipahami awam. Teknik filter pada akhirnya tidak mampu mengenali kucing meski ia telah berada di luar karung. Kucing tetap berada di dalam karung, karung filter-filter dan aplikasi yang memodifikasi penampakan lain berubah bahkan 180 derajat dari penampakan aslinya. 

Itu bukan hanya penampakan luar, bahkan visi-misi, program kerja, hingga kemampuan leadership seseorang pun bisa didesain dengan filter. Tentu, filter kategori lainnya. Mereka-merekalah para konsultan politik, lembaga survei, dan pengamat orderan yang bertugas menggiring opini agar sesuai bentukan dan tujuan.

Maka, jangan kaget kalau hari-hari ini lagi musim memoles seorang aktor politik menjadi seolah-olah. Seolah-olah apa? Peduli milenial, lalu kegiatannya melulu adalah gimmick di akun medsosnya. Nelangsa sekali sebenarnya, menyapa milenial disimplifikasi hanya dengan joget ala-ala di TikTok atau IG. 

Apa gagasan solutifnya untuk milenial? Bagaimana dengan bonus demografi? Apa yang mau ditawarkan? Nol, kayaknya. 

Sumber: