Penjurian Lapangan Brawijaya Award (10): Dipandu Googlemap Lewati Jalur Lahar

Penjurian Lapangan Brawijaya Award (10): Dipandu Googlemap Lewati Jalur Lahar

Sertu Abu Nur Arifin, babinsa yang menggerakan berfilman dengan melibatkan pemuda sebagai pemain film di Pejuang Kampung, tahun 2021.-Elvina Talitha Alawiyah-

Tugas hari pertama kami sudah rampung. Tiga sasaran dengan dua kodim berbeda cukup menguras tenaga. Agenda kami berikutnya ada di Kodim 0809/Kediri. Tiga Babinsa yang akan kami temui besok. Jadi, malam ini kami harus berada di Kediri. Sesuai jadwal, tim dua akan bermalam di Kota Tahu.

Sejak pagi, Pasiter Kodim Kediri, Lettu Iskak sudah menghubungi saya. Beliau terus mengecek posisi tim dua. “Nanti kalau sudah bergeser dari Malang, saya dikabari ya bang Moris,” kata Iskak melalui pesan Whatsapp.

Pukul 19.25, kami bergeser dari Blitar menuju ke Kediri. Sebelum berangkat, saya mengabari bang Iskak. Ia pun langsung mengirim titik lokasi, tempat kami menginap nantinya. “Kita ditunggu di Hotel Merdeka pak,” ujar saya ke pak Pudjio. Dengan sigap juri akademisi itu mengetik di aplikasi GPS. Kali ini beliau berperan sebagai co driver.

Rupanya GPS tidak memandu kami melewati jalur Utama. Banyak jalanan rusak yang kami lalui. Kendaraan yang lalu lalang juga sedikit. Pencahayaan jalan sangat minim. Hanya bersumber dari lampu kendaraan saja. Jarang ada lampu Penerangan Jalan Umum (PJU). “Wah, kita dilewatkan jalur lahar Gunung Kelud ini,” kata pak Pudjio, saat kami melintasi jalanan beton. 

Menurutnya, jalan beton itu juga berfungsi sebagai penghambat aliran lahar.

Suasana jalan yang sepi dan menjenuhkan. Ditambah kondisi badan yang lelah membuat saya mengantuk. Padahal, saat di Blitar tadi saya sudah ngopi. Tapi tidak ada efeknya sama sekali. Kafein kopi tidak juga bisa mengusir kantuk saya.

“Loh kurang ta kopine nang gelas gede mau? Kok sek ngantuk ae (Apakah kurang kopi di gelas besar tadi? Kok masih ngantuk aja),” seru Alvin, yang melihat saya berkali-kali menguap. 

Perkataan Alvin itu, disambut dengan tawa seisi mobil. Kami semua kembali mengingat kopi yang saya dan pak Pudjio minum di Blitar. Biasanya kopi disajikan menggunakan cangkir. Tapi yang tadi menggunakan gelas. Sangat tidak umum.

Semakin lama, saya semakin tidak bisa menahan kerinduan pada pulau kapuk. Saya kembali mengalami microsleep. Mobil hilang kendali. Saya terkejut karena hampir menyambar motor dari arah depan. Pak Pudjio menyarankan untuk berhenti dan bertukar supir. 

Tidak ingin mengambil resiko, saya segera mencari pom bensin terdekat. Saya masuk ke toilet untuk ritual pembasahan kepala. Tapi ritual kuno saya tidak berhasil. Padahal biasanya cara ini jitu. Seakan ada puluhan kurcaci bergelantungan di kelopak mata saya. Akhirnya saya menyerah. Ganti Alvin yang menyetir.

Saya pun bisa merasakan kenyamanan jadi penumpang di baris kedua Honda B-RV. Baru beberapa meter meninggalkan pom bensin, saya sudah terlelap. Suara dengkuran saya yang keras, mengiringi perjalanan tim 2 ke Kediri. Menggantikan suara mesin mobil yang senyap itu.

Mendekati hotel, saya terbangun. Yang ada di benak saya pertama kali adalah, mengabari Pasiter. Ternyata bang Iskak dan anggotanya, Serma Sugeng, beserta Sertu Rudi dari Unit Intel, sudah standby di lobby hotel. Sebelum kami check in, bang Iskak mengajak kami makan malam. Bisa dibilang makan malam yang terlambat. Karena itu sudah pukul 21.00 WIB.

Selepas makan malam, kami kembali ke penginapan. Kodim Kediri sudah menyediakan  tiga kamar untuk kami. Pak dosen dan Elvina mendapat kamar sendiri-sendiri. Sementara saya sekamar dengan Alvin .

“Besok rencananya jam berapa kita menuju sasaran pertama,” tanya Iskak ke saya. Berhubung saya wartawan alias warga tangi awan (warga bangun siang), saya meminta untuk mulai giat pukul 09.00 WIB. Untung saja beliau tidak keberatan. Bang Iskak memahami kondisi kami yang belum istirahat sejak pagi.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: