Gus Dur Qu Yuan

Gus Dur Qu Yuan

Di makam Gus Dur, Ketua Boen Hian Tong Semarang Harjanto Halim (dua dari kiri) berziarah.-Toni Harsono untuk Harian Disway.-

JOMBANG, HARIAN DISWAY ­– Masyarakat Tiongkok sedang libur panjang. Sejak 22 hingga 25 Juni ini. Mereka merayakan Duanwu Jie (端午). Yang di Indonesia, utamanya di kalangan komunitas Tionghoa berbahasa Hokkien, disebut sebagai Festival Peh Cun (扒船): mendayung perahu.

 

Sesuai namanya, perayaan itu memang identik dengan lomba mendayung perahu. Lomba ini mulanya berasal dari orang-orang Tiongkok yang berbondong-bondong mendayung perahu untuk pergi ke suatu sungai, tempat Qu Yuan bunuh diri, untuk mencari jasadnya.

 

Qu Yuan adalah seorang politisi sekaligus penyair yang begitu cinta pada negaranya. Ia hidup di Zaman Negara-negara Berperang: sekitar 475 sampai 221 SM. Hatinya begitu terpukul melihat negaranya dikalahkan musuh, setelah dirinya dibuang oleh kaisar yang terbakar oleh hasutan orang-orang ring satu istana yang tak suka padanya.

 

Tak rela, Qu Yuan lalu pilih mengakhiri hidup dengan terjun ke sungai. Orang-orang Tiongkok berkabung dengan mendayung perahu dan melemparkan nasi ketan berisi daging yang dibungkus daun bambu. Berharap ikan-ikan tidak memakan tubuh Qu Yuan, melainkan memakan penganan yang kelak kita kenal dengan sebutan bakcang itu.

 


Tambur untuk mengiringi cengbeng yang dipukul oleh Toni Harsono, pemilik kelompok wayang potehi Fu He An, Gudo, Jombang. Dua dari kiri adalah Harjanto Halim, ketua Perkumpulan Boen Hian Tong Semarang.-Toni Harsono untuk Harian Disway.-

 

Sementara sebagian masyarakat Tionghoa Indonesia merayakan Peh Cun, Harjanto Halim pada Sabtu sian, 24 Juni 2023, membawa rombongan dari Perkumpulan Boen Hian Tong Semarang menggelar cengbeng di makam Gus Dur, Jombang.

 

Cengbeng alias Qingming Jie (清明), juga merupakan hari besar Tionghoa. Hari raya untuk mengenang orang-orang yang telah meninggal itu mestinya sudah usai dilakukan pada 4 April kemarin. Namun, ziarah kubur tentu bisa dilakukan kapan saja. Apalagi ziarah ke makam guru bangsa yang sekaligus ulama besar sekelas Gus Dur.

 

Cengbengan ke makam Gus Dur yang digagas Harjanto itu diawali dengan mengarak sinci (papan arwah) Gus Dur.

 

Anda sudah tahu, dalam tradisi Tionghoa, sinci biasa diletakkan di altar penghormatan dan disembahyangi.

 

Sinci Gus Dur terbuat dari kayu jati. Sampai sekarang di Indonesia cuma ada satu: yang disimpan di gedung Perkumpulan Boen Hian Tong dan sengaja dibawa dari sana untuk diarak dalam acara cengbengan tersebut.

 

Arak-arakan sinci Gus Dur diiringi tabuhan alat musik khas wayang Potehi. Sincinya yang diikat dengan kain merah di atas kursi kayu kecil serta dihiasi bunga melati dan bunga sedap malam, dipikul bak memikul tandu oleh empat orang.

 

Di depannya, ada dua orang yang membawa bendera merah putih. Di depannya lagi, dua orang membentangkan spanduk putih bertulisan "Cengbeng Gus Dur Bersama Perkumpulan Boen Hian Tong (Rasa Dharma) Semarang".

 

Tak peduli terik, di belakang orang yang memikul sinci Gus Dur, mengular orang-orang.

 

Oleh penjaga makam, arak-arakan sinci Gus Dur sengaja diatur melewati pasar suvenir di kawasan sebelum masuk makam. Orang-orang ramai sekali yang menyaksikan. Mereka kompak menyanyikan lagu Yalal Waton, mengikuti nyaringnya tabuhan genderang, gembreng, dan terompet yang suaranya mirip klarinet.

 

Begitu masuk kompleks makam, sinci Gus Dur diletakkan di atas meja. Dupa-dupa dinyalakan. Beberapa pengurus inti Perkumpulan Boen Hian Tong, termasuk saya, dipersilakan masuk ke dalam pagar makam untuk berdoa, menyapu, dan menabur bunga.

 

Setelah itu, semua peserta cengbeng diminta duduk di pelataran makam untuk menggelar doa bersama. Pemuka agama dari enam agama besar di Indonesia bergantian melantunkan doa. Banyak yang menitikkan air mata --tak terkecuali peziarah dari rombongan lain yang terharu menyaksikan pandangan tak biasa ini di depan matanya.

 

Doa usai, dilanjutkan dengan menyanyikan lagu Indonesia Raya. Semua peziarah berdiri tanpa dikomando. Sesudah itu, disambung dengan menyanyikan Yalal Waton, dan ditutup dengan lagu gubahan Harjanto untuk mengenang Gus Dur.

 


Toni Harsono (kiri), ketua kelompok wayang potehi Fu He An, Gudo, Jombang, berfoto bersama Harjanto Halim.-Toni Harsono untuk Harian Disway.-

 

Ditanya mengapa cenbengan ke makam Gus Dur dibarengkan dengan perayaan Peh Cun, Harjanto bilang tak punya tujuan khusus.

 

"Saya hanya ingin Gus Dur tidak hanya dikenang, tapi legasinya ada yang meneruskan. Tidak hanya diteruskan oleh Tionghoa, tapi oleh kita semua," kata Harjanto, yang ketua Perkumpulan Boen Hian Tong.

 

"Legasi Gus Dur ini berupa sebuah sikap yang mengasihi dan mengayomi siapa pun tanpa tebang pilih," lanjut Harjanto.

 

"Saya pikir, inilah ajaran Islam yang sesungguhnya. Yang mengemban tugas menjadi agama yang membawa rahmat bagi alam semesta, rahmatan lil 'alamin," tambah Harjanto.

 

Untuk bisa meneruskan legasi Gus Dur tentu tidak mudah. Namun demikian, kita bisa berpedoman pada petikan puisi yang ditulis Qu Yuan sebelum memutuskan terjun ke sungai, "世皆我独清, 众人皆醉我独醒" (jǔ shì jiē zhuó wǒ dú qīng, zhòng rén jiē zuì wǒ dú xǐng).

 

Yang terjemahan bebasnya kira-kira: Ketika semua orang di dunia berkubang dalam lautan keruh, aku berusaha bersih meski sendiri; ketika semua orang mabuk, aku berusaha sadar walau sendirian.

 

Bukankah Gus Dur juga memberi suri tauladan demikian? (Novi Basuki)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: