Kecerdasan Buatan yang Semakin Marak di Kehidupan (7) : Waspada Jurnalisme Otomatis dan Maraknya Hoax
ILUSTRASI PENULISAN BERITA yang diterjemahkan oleh aplikasi Leonardo.ai atas perintah wartawan Harian Disway.-Leonardo.ai-
AI lebih bahaya dari senjata nuklir. Itu kredo yang disampaikan Elon Musk pada 2018 silam. Jauh sebelum platform AI menjamur seperti saat ini. Salah satu bahaya itu menyinggung bagaimana AI memproduksi informasi yang tak valid.
BELAKANGAN, pendiri Tesla Motors itu cukup serius merespons pesatnya teknologi AI. Yakni dengan mendesak penundaan perkembangan kecerdasan buatan. Terutama menyerukan jeda pengembangan sistem yang lebih canggih dari GPT-4 yang dikembangkan OpenAI selama enam bulan ke depan.
Musk ingin segera ada regulasi khusus yang mengatur AI. Tentu harus berlaku secara global. Jika tidak, umat manusia bakal kembali memasuki zaman kegelapan.
BACA JUGA : Kecerdasan Buatan yang Semakin Marak di Kehidupan (6) : Ancaman Hak Cipta oleh Kemudahan Produksi AI
BACA JUGA : Kecerdasan Buatan yang Semakin Marak di Kehidupan (4) : Unair Bikin Prodi AI, UK Petra Rancang Supercomputer
BACA JUGA : Kecerdasan Buatan yang Semakin Marak di Kehidupan (2) : AI ”Menyelusup” ke Kampus
Beberapa contoh kasusnya sudah mulai mencuat ke permukaan. Termasuk yang cukup menggemparkan awal 2022 lalu. Menyebar video tak senonoh seseorang yang mirip artis Nagita Slavina berdurasi 61 detik.
Video itu dibuat seseorang dengan platform deepfake AI. Sebuah teknologi yang menciptakan sintetis citra manusia. Kemiripannya bisa sampai 90 persen.
"Hasilnya mirip sekali. Apalagi kalau orang awam yang menonton videonya," ujar Indar Sugiarto, pemerhati AI Indonesian Association for Pattern Recognition. Tanda kepalsuan dalam video itu memang nyaris tak kentara. Hanya para pakar yang bisa memergoki rekayasanya.
Menurut Indar, itulah sebagian kecil bukti dari kredo Elon Musk. Bahwa yang bahaya dari AI adalah ekses dari pengembangannya. Meski secara teknologi belum sampai pada risiko kerusakan fisik seperti bahaya nuklir.
KARYA APLIKASI Leonardo.ai berdasar perintah Harian Disway yang menggambarkan ‘’jurnalis’’ robot.-Leonardo.ai-
AI ini memang punya kemampuan belajar mandiri yang bagus. Bahannya diambil dari seluruh data di internet. Tetapi, cara kerja yang seperti itu justru menimbulkan bahaya berikutnya.
"Kalau data yang diambil itu bikinan manusia sih, seharusnya output-nya bagus," kata kepala bidang studi elektronika Universitas Kristen Petra itu. Masalahnya, sekarang banyak data yang diproduksi manusia melalui AI. Misalnya, sudah mulai banyak konten yang dihasilkan dengan bantuan ChatGPT.
Padahal, kerap kali data ChatGPT itu tidak akurat. Inilah yang membuat potensi ketersesatan informasi makin besar. Dan kini, kata Indar, sudah mulai marak terjadi.
"Istilahnya automated journalism atau jurnalisme otomatis," terang alumnus S-3 Teknik Elektro jebolan Universitas Technology München, Jerman, itu. Bahwa banyak media online yang memproduksi berita dengan cara seperti itu. Jika data yang diambil tak valid, maka berita yang disebarkan jelas mengandung hoax.
BACA JUGA : Kuda Troya Teknologi
Seperti yang menimpa The Irish Times pada awal Mei lalu. Surat kabar Irlandia itu menerbitkan artikel berjudul: Obsesi Wanita Irlandia terhadap Kulit Cokelat Palsu adalah Problematik.
Artikel itu pun menjadi terpopuler kedua di situs tersebut. Lantas menjadi sorotan dan perbincangan di banyak radio serta media sosial. Beberapa yang lain menilai konten itu representasi dari politik identitas yang berpotensi memecah belah.
Namun, ternyata kontributor bernama Adriana Acosta-Cortez sebenarnya bukan pekerja kesehatan Ekuador yang pindah ke Dublin seperti yang dinyatakan. Bahkan, dia tidak pernah ada. The Irish Times menghapus artikel tersebut dalam waktu 24 jam.
Sebab, ada pembaca yang melaporkan ke The Guardian. Bahwa sekitar 80 persen artikel itu dihasilkan dengan GPT-4. Gambar profil ’’si penulis’’ pun dibuat dengan DALL-E AI. Pada akhirnya, pihak redaksi meminta maaf ke publik.
GAMBARAN MASA DEPAN soal jurnalistik yang dikuasai oleh artificial intelligence. Gambar ini dilukis oleh aplikasi kecerdasan buatan Leonardo.ai.-Leonardo.ai-
Bayangkan bila konten semacam itu membanjiri internet. Lalu ditelan mentah-mentah oleh masyarakat. Tentu akan terjadi disinformasi dan kekacauan yang luar biasa. "Sampai saat ini belum ada penawarnya. Dan saya rasa ini tidak bisa diatasi oleh pemerintah saja," tandas Indar.
Guru Besar Ilmu Komunikasi Universitas Airlangga Prof Henri Subiakto mengatakan, bukan hanya jurnalisme yang terancam disrupsi. Tetapi nyaris semua sektor kehidupan. Bahkan termasuk tata sistem negara dan pengelolaannya.
"Ini yang disebut matinya kepakaran. Ini yang dimaksud era post truth," terangnya. Bahwa manusia hanya ingin membuat dan mendapat informasi yang memperkuat selera dan keyakinannya. Para jurnalis hingga media yang kredibel sudah tidak dipercaya lagi.
Seperti yang terparah terjadi di India. Berita hoax menyebar tak keruan. Memprovokasi antar suku hingga meletus konflik horizontal.
Maka, saat ini yang harus dilakukan adalah memperluas literasi digital. Tentu akan menjadi pekerjaan yang tak hanya berat. Tetapi, juga akan sangat lama dan berkepanjangan.
"Jumlah penduduk kita tembus 270 juta jiwa. Masyarakat inilah yang harus diedukasi terus," jelas mantan staf khusus Kementerian Kominfo itu. Apalagi garansi digital negara juga sangat lemah. Ini memungkinkan disrupsi terjadi dengan cepat. Ujungnya adalah makin maraknya dehumanisasi. (Mohamad Nur Khotib)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: