Toetik Koesbardiati, Profesor Bidang Ilmu Paleoantropologi (9): Memilih Asisten Ketiga untuk Prof Glinka

Toetik Koesbardiati, Profesor Bidang Ilmu Paleoantropologi (9): Memilih Asisten Ketiga untuk Prof Glinka

Prof Dr Phil Toetik Koesbardiati (tengah) diapit mantan Gubernur Jatim Soekarwo (kiri), dua profesor yang sama-sama dikukuhkan bareng dengannya oleh Rektor Unair (kanan). -Toetik K-

HARIAN DISWAY - Studi di Program Studi (prodi) Antropologi FISIP Unair ditempuh Prof Dr Phil Toetik Koesbardiati dengan lancar. Pada 1991 dia lulus dan berhak menyandang gelar sarjana. Studi selanjutnya ditempuhnya di Jerman. Semua berkat bantuan Prof Dr Habil Josep Glinka.
 
Sebagai asisten kedua Prof Glinka, perintis pendirian antropologi ragawi di FISIP Unair itu makin tenang dengan hadirnya Totok, panggilan Toetik. Malah jumlah asisten Prof Glinka bertambah. Sehingga ada tiga asisten yang dimiliki. Ketiganya perempuan.
 
Selain Totok, kedua asisten itu adalah Prof. Myrtati Dyah Artaria PhD seorang pakar antropologi dental, Dr Lucy Dyah Hendrawati H., S.Sos., M.Kes., seorang pakar biososial manusia. Totok dikenal sebagai pakar palaeoantropologi dan antropologi forensik. Semua pendidikan lanjutan ditempuh ketiganya dengan dorongan Prof Glinka.
 
Lewat tiga asistennya inilah, Prof Glinka berhasil mengambangkan antropologi ragawi. Perkembangan itu setidaknya dari jumlah mahasiswa prodi antropologi yang makin naik. Di awal berdirinya Departeman Antropologi pada 1985, ada sekitar dua puluhan sampai tiga puluhan orang setiap tahun yang diterima menjadi mahasiswa. Sekarang bisa sampai mencapai ratusan. 
Prof Dr Phil Toetik Koesbardiati dengan sesama dosen-dosen di Departemen Antropologi FISIP Unair. -Toetik K-

 
Perkembangan antropologi ragawi yang pesat itu sempat direncanakan menjadi jurusan yang berdiri sendiri di luar FISIP. Namun, sampai sekarang tetap berada di bawah bawah FISIP dengan satu peminatan lagi yakni antropologi budaya yang saling mengikat. Asumsinya, ada hubungan raga dengan budaya. Kemajuan antropologi ragawi itu juga karena adanya Museum Etnografi dan Pusat Kajian Kematian yang dipimpin Totok.
 
Munculnya tiga asisten Prof Glinka seolah menjadi pilar jurusan antropologi ragawi. Prof Glinka dianggap sangat berhasil memotivasi, membimbing dan mengarahkan. Peran sebagai mentor, motivator, dan pendamping dilakukan dengan sepenuh hati. Kepada ketiganya, Prof Glinka bisa menyesuaikan dengan karakter, minat, dan situasi masing-masing. Bahkan kepada Totok yang semula tak yakin dengan keberadaannya.
 
Asisten pertama yang biasa dipanggil Mita adalah mahasiswa angkatan pertama tahun 1985. Mita pernah hendak keluar dari antropologi ragawi karena kecewa pelajaran antropologi ragawi yang banyak diisi oleh antropologi budaya. Namun, Prof Glinka berhasil menahan dan memotivasi hingga jadi profesor. 
 
Master Mita di bidang antropologi forensik diambil di Arizona Amerika. Sedang doktornya diambil di Adelaide Australia. Seperti Totok, gelar profesor yang diraih Mita, juga berkat motivasi Prof Glinka yang seperti ayahnya sendiri. Selain menjadi guru besar, Mita menerima bintang jasa Satya Lencana Perak dan Perunggu dari Presiden atas perannya mematahkan argumentasi kekurangan gizi pada anak Indonesia dengan penelitiannya di Malang. 
 
Totok menyelesaikan gelar doktornya di Hamburg Universiteit Jerman dengan hasil summa cumlaude. Capaian ini tidak mungkin diraih kalau tidak ada dampingan, motivasi dan dukungan material serta moral dari Prof Glinka. Padahal diakui Totok, dia punya banyak halangan. Salah satunya yang dihadapi selama studi di Jerman adalah bahasa. Apalagi dia mengambil bidang baru yakni paleoantropologi.
 
Lebih-lebih semula Totok memang kurang percaya diri. Buat Totok sendiri, jangankan menjadi guru besar, menjadi asisten Prof Glinka juga tak pernah dibayangkannya. Tapi lagi-lagi yang mendorong Totok menerima tawaran itu ya Prof Glinka. 
 
Begitu juga bayangan menjadi guru besar. Berkali-kali Totok didorong Prof Glinka untuk mengurus prosesnya. Tapi selalu dijawab Totok dengan nanti dulu. ”Bukan berniat menunda ya tapi aku menunggu sampai aku siap. Akan datang waktunya untukku,” tegasnya.
Teman-teman kuliah Prof Dr Phil Toetik Koesbardiati yang sama-sama menjadi asisten Prof Dr Habil Josef Glinka yakni Lucy (kanan) dan Mita (tengah). -Toetik K-

 
Diakui Totok, proses menjadi guru besar sangatlah berat. Pengumpulan data sudah cukup lama sekitar 2-3 tahunan. Data itu sempat dikembalikan di tingkat fakultas karena kurang memenuhi syarat. Tapi akhir tahun lalu mulai diposes lagi. “Dibantu asisten-asistenku akhirnya semua data terkumpul. Januari 2023 sudah masuk penilaian universitas dan April bisa masuk penilaian di Jakarta. Tanggal 16 Juli selesai dinilai dan dinyatakan lolos. Akhirnya SK guru besar turun,” terangnya.
 
Setelah Totok, asisten ketiga itu adalah Lucy. Dari ketiganya, hanya Lucy yang master dan doktornya diselesaikan di Indonesia. Yakni di Fakuktas Kedokteran Unair. Semua kelancaran studinya itu juga berkat Prof Glinka yang sangat dekat dengan keluarga Lucy. Lucunya, asisten ketiga Prof Glinka ini bukan ditentukan Prof Glinka sendiri. Namun, dipilih sendiri oleh Mita dan Totok. 
 
Prof Glinka sebenarnya hendak memilih Rusyad Adi Suriyanto, S.Sos M.Hum yang juga lulusan prodi antropologi FISIP Unair. Ia Lektor Kepala Antropologi Kedokteran di Departemen Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal dan Laboratorium Bioantropologi dan Paleoantropologi, Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan (FK-KMK), Universitas Gadjah Mada. Atas pertimbangan bahwa dua asistennya sebelumnya perempuan. Maka, seyogianya ditambah satu laki-laki.

BACA JUGA:Toetik Koesbardiati, Profesor Bidang Ilmu Paleoantropologi (10): Meraih Doktor Tanpa Kuliah S2
 
Namun, Prof Glinka akhirnya lebih menyerahkan pemilihan asisten ketiga kepada dua asisten sebelumnya itu karena menurut pendapatnya, merekalah yang akan bekerja meneruskan pekerjaan yang dimulai oleh Dr drg Adi Sukadana dan Prof Glinka sendiri. Memang bukti menyatakan demikian.
 
Kepada ketiga asistennya itu, Prof Glinka benar-benar telah memberi teladan tentang bagaimana studi yang dikuasai dijaga dan dikembangkan itu harus dipikirkan dan dilaksanakan keberlangsungannya untuk masa depan antropologi ragawi. 
 
Jadi meskipun Prof Glinka telah tiada, tapi di tangan ketiga asistennya itu, masa depan antropologi ragawi, tidak hanya di FISIP Unair tapi di Indonesia, bisa diletakkan dengan kuat hingga sampai saat ini. (*)
 
Indeks: Mendalami studi paleoantropologi di Jerman, baca selanjutnya…

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: