Bumi Makin Panas: Suhu 50 Derajat di Maroko, Juli Bulan Terpanas Sepanjang Sejarah di Eropa

Bumi Makin Panas: Suhu 50 Derajat di Maroko, Juli Bulan Terpanas Sepanjang Sejarah di Eropa

KAKI LELAKI ini dicemplungkan di sebuah kolam air mancur di tengah kota Zagreb, Korasia, 19 Juli 2023. Sedangkan si pemilik kaki terlentang di bawah rindangnya pohon.-DENIS LOVROVIC-AFP-

RABAT, HARIAN DISWAY – Maroko tengah menghadapi gelombang panas ekstrem. Sebelumnya tidak pernah terjadi. Suhu mencapai 50,4 derajat Celsius. Sebuah rekor yang hot.

 

Suhu menyengat itu tercatat oleh Stasiun Meteorologi Agadir, sebuah kota di wilayah selatan Maroko.

 

Gelombang panas tersebut dihasilkan oleh arus udara kering dan panas dari selatan. Sehingga suhu terkerek naik. Sangat mencemaskan. Lebih tinggi 13 derajat dari rata-rata suhu bulanan di kota itu.

 

Melalui Direktorat Jenderal Meteorologi, pemerintah menyatakan bahwa kewaspadaan nasional harus ditingkatkan. Karena, sekali lagi, fenomena cuaca ekstrem seperti itu tidak pernah terjadi sebelumnya.

 

Suhu ekstrem itu memicu kebakaran hutan di berbagai wilayah. Termasuk di Provinsi Tangier di utara dan Provinsi Taza di timur. Untung, menurut Agence France-Presse, tidak ada korban.

 


SEMBURAN AIR dari pesawat milik Angkatan Udara Maroko menyirami hutan kering yang terbakar di Provinsi Tangier, 12 Agustus 2023.-FADEL SENNA-AFP-

 

Dan Maroko bukan satu-satunya tempat yang mengalami cuaca gila. Di Eropa, bulan Juli dicatat sebagai bulan paling panas yang pernah tercatat secara global. Itu berdasar data Badan Layanan Perubahan Iklim Copernicus milik Uni Eropa.

 

BACA JUGA : Panas Ekstrem di Eropa Tak Pengaruhi Jumlah Wisatawan

 

Rekor sebelumnya terjadi pada Juli 2019. Dan tahun ini, Juli lebih panas 0,33 derajat Celsius dibanding empat tahun lalu.

 

’’Ini suhu terpanas dalam 120 ribu tahun terakhir,’’ kata Samantha Burgess, wakil direktur badan tersebut.

 


BERBEKAL BOTOL MINUM, seorang turis menyegarkan tubuhnya di depan Piazza Duomo, Milan, Italia.-Piero Cruciati-AFP-

 

Dampak gelombang panas itu memang begitu luas. Tidak hanya suhunya yang naik tetapi juga periodenya lebih lama.

 

Pemanasan global memang telah terjadi sejak akhir abad ke-19. Suhu rata-rata bumi naik 1,2 derajat Celsius. Hal tersebut ditengarai karena penggunaan bahan bakar fosil yang masif. Baik untuk transportasi atau industri. Sehingga, cuaca menjadi kacau. Badai, banjir, gelombang panas, dan cuaca ekstrem lainnya terjadi di banyak tempat.

 

"Kita menyaksikan suhu udara dan permukaan laut mencetak rekor tertinggi. Ini berkonsekuensi serius pada manusia dan planet ini. Kita menjadi sering terpapar fenomena cuaca ekstrem,’’ ucap Burgess.

 


MENDINGINKAN DIRI, perempuan ini minum dari salah satu pancuran umum di tengah kota Roma, Italia.-ALBERTO PIZZOLI-AFP-

 

Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) menegaskan perlunya tindakan mendesak untuk mengatasi perubahan iklim. "Kondisi panas ekstrem ini tidak mengherankan," ungkap Chris Hewitt, Direktur Layanan Iklim WMO. "Ini konsisten dengan apa yang telah diperkirakan oleh para ilmuwan selama bertahun-tahun," tambahnya.

 

Kalimat dari Sekjen PBB Antonio Guterres lebih lugas. ’’Ini bukan lagi era pemanasan global. Tapi sudah masuk era perebusan global,’’ ucapnya.

 

Ia mendesak negara-negara untuk bertindak. Sebab, urgensi menangani krisis iklim tidak pernah benderang. Pemerintah, industri, dan individu tidak pernah mengambil langkah ekstrem untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dan melindungi planet ini bagi generasi mendatang. (Ribka Julia Brillianti)

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: