Sebelum Jadi Grha Wismilak, Kondisi Bangunan Memprihatinkan

Sebelum Jadi Grha Wismilak, Kondisi Bangunan Memprihatinkan

Lantai dua Grha Wismilak yang sangat terawat-Dokumen Pribadi-

SURABAYA, HARIAN DISWAY - Bangunan cagar budaya yang mentereng itu telah menjadi ikon Jalan Raya Darmo. Entah apa yang terjadi bila Willy Walla selaku Direktur Utama PT Gelora Djaja tak membelinya saat itu.

Sebab, memang tak mudah merawat sebuah bangunan kolonial. Tak boleh diperlakukan dengan serampangan. Agar semua ornamen tetap terjaga seperti sedia kala.

“Karena ini gedung cagar budaya kelas A. Tidak boleh direnovasi. Harus sesuai aslinya,” ujar Ketua Yayasan Wismilak Foundation Henry Nayoan saat ditemui di kantornya, Rabu, 16 Agustus 2023.

Sebelum menjadi Grha Wismilak, bangunan itu konon difungsikan sebagai kantor polisi. Sejak 1942 era kependudukan Jepang hingga 1993. Barulah dibeli pihak wismilak dari Tuan Njono Handoko dengan status hak guna bangunan (HGB).

Kala itu lahan dan bangunan tersebut kosong. Sudah tak berpenghuni. Henry bahkan menyaksikan sendiri kondisi bangunan tersebut. Dan sangat memprihatinkan.

BACA JUGA:Berikut Kronologi Jual Beli Grha Wismilak

Dari teras sampai bangunan utama. Semua lantai marmer putih khas bangunan era kolonial 1920-an rusak tak bersisa sama sekali. Kaca patri warna-warni di jendela pun demikian. Banyak yang sudah pecah. 

Daun dan pintu sebagian sudah hilang. Banyak juga yang terlepas. “Sangat menyedihkan. Apalagi di lantai dua, sangat kumuh," kenangnya. 

Bahkan, hampir 70 persen ornamen tak terselamatkan. Dari situlah, kata Henry, Willy Walla punya semangat untuk merawat. Ingin bangunan cagar budaya itu 'hidup' dan bercerita kembali tentang masa silam kepada tiap generasi baru.

Segala upaya dilakukan. Dimulai dari melacak asal usul bangunan secara historis. Beruntung, mereka bertemu dengan Oei Hian Hwa. 

BACA JUGA:Kenangan Oei Hian Hwa, Mantan Pegawai Toko Yan yang Menempati Graha Wismilak saat Masa Akhir Penjajahan

Ialah saksi bangunan kolonial itu. Bahwa dulu gedung tersebut merupakan Toko Yan yang menjual barang-barang kebutuhan orang Belanda. “Dulu beliau bekerja di situ sebagai tenaga akuntan. Sekarang sudah meninggal,” ungkap Henry.

Terkumpul cukup data. Bangunan pun dibersihkan dan ditata ulang. Termasuk menambahkan kaca jendela. Tujuannya untuk melindungi bangunan dari gangguan luar.

Tentu, pengerjaannya tak sembarangan. Mereka melibatkan tim cagar budaya Pemerintah Kota Surabaya. Semua perbaikan dilakukan dengan arahan yang berdasarkan jejak historis.

Terutama di lantai dua yang punya tangga dan lantai kayu itu. Dikerjakan dengan sangat hati-hati. Apalagi, imbuh Henry, banyak anak tangga yang hilang. “Kami juga melibatkan berbagai komunitas cagar budaya lain. Ini semata untuk menjaga orisinalitas bangunan,” tandasnya.(Mohamad Nur Khotib)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: