Cakra Donya, Nuansa Tiongkok di Nangroe Aceh Darussalam

Cakra Donya, Nuansa Tiongkok di Nangroe Aceh Darussalam

Dr Simon Yosonegoro Liem di depan lonceng cakra donya di Museum Aceh. Lonceng peninggalan Laksamana Cheng Ho.-Dr Simon Yosonegoro Liem-

BANDA ACEH, HARIAN DISWAY Di balik kultur Islami, Aceh ternyata memiliki unsur Tionghoa. Itu berupa benda peninggalan yang tersimpan di Museum Aceh.

Dr Simon Yosonegoro Liem, kagum dengan koleksi Museum Aceh. Satu benda yang membuatnya takjub adalah Lonceng Cakra Donya atau Cakra Dunia.

Sebuah lonceng raksasa yang ditempatkan di dalam bangunan semi terbuka, dengan desain paduan arsitektur Melayu-Tionghoa.

Atapnya seperti pagoda dengan sudut runcing di bagian atas. Terdiri dari beberapa pilar, sedangkan di bagian bawah terdapat penutup persegi melingkar.

BACA JUGA:Dukung Ketahanan Pangan, Presiden Jokowi Luncurkan Kartu Tani Digital dan KUR BSI di Aceh

Paling bawah adalah tangga berundak. Sekelilingnya lantai marmer dan di bagian kanan, kiri dan belakang ditumbuhi rerumputan hijau.

"Rupanya di tengah tradisi Melayu dan agama Islam, Aceh ternyata punya nuansa Tionghoa," ungkap Dr Simon.

Pihak museum melengkapi informasi terkait lonceng tersebut melalui prasasti di jalur masuk, bertuliskan: Penanda Harmonisasi Kesultanan Pasai dengan Dinasti Ming.

Lebih lanjut, informasi itu memuat keterangan bahwa pada abad ke-15, Laksamana Chengho menyerahkan Cakra Donya kepada Sultan Pasai pada salah satu ekspedisinya ke Aceh.

Sedangkan pada abad ke-16, Pasai berada dalam kekuasaan Kesultanan Aceh Darussalam. Pergantian kekuasaan membuat Cakra Donya turut dibawa ke pusat Kesultanan oleh Sultan Al Mughayatsyah.

Pada abad ke-17, Sultan Iskandar Muda meletakkan Cakra Donya dalam kapal perang Aceh. Nama "Cakra Donya" diambil dari nama kapal tersebut.

Hingga pada abad ke-19, Cakra Donya digantung di bawah pohon di depan kantor regional Belanda, Kutaraja. Kemudian menjadi koleksi museum Aceh sejak Desember 1915.

Mendengar nama Cheng Ho, tentu tak asing di telinga masyarakat Nusantara. Tak hanya di Aceh atau Sumatera. Tapi juga di Jawa. Bahkan Surabaya.

Kelenteng Sam Poo Kong di Semarang dan Sam Poo Tay Djien di Surabaya pun masih menyimpan jejak-jejak peninggalannya.

Seperti Kelenteng Sam Poo Tay Djien di Surabaya yang memiliki bekas kayu yang dipercaya merupakan potongan kayu kapal Chengho.

Laksamana besar itu pernah mengunjungi Asia Tenggara pada 15 Agustus, sekitar 600 tahun silam.

Kedatangannya dirayakan dengan peribadatan dan pertunjukan seni di berbagai kelenteng di Indonesia.

BACA JUGA:Series Jejak Naga Utara Jawa (71): Rawat Keberagaman lewat Rasa Dharma

Cheng Ho, atau bergelar Sam Poo Kong dan Sam Poo Tay Djien, tiba di Asia Tenggara demi mengemban misi perdamaian dan persahabatan.

Tujuannya adalah Semenanjung Malaya, Sumatera dan Jawa. Di Aceh, ia membawa serta lonceng tersebut. Sebagai hadiah.

 "Memang Laksamana Cheng Ho berasal dari Dinasti Ming. Beliau diperintah oleh kaisar, mempersembahkan sebuah lonceng berukuran besar untuk Sultan Samudera Pasai," ujarnya.

Berdasarkan informasi yang didapatkan dari petugas museum, Dr Simon mengetahui bahwa lonceng itu dibuat di Tiongkok pada 1409 Masehi.

"Sedangkan Laksamana Cheng Ho membawanya ke Aceh pada 1414 Masehi," terangnya. (Guruh Dimas Nugraha)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: