Series Jejak Naga Utara Jawa (71): Rawat Keberagaman lewat Rasa Dharma

Series Jejak Naga Utara Jawa (71): Rawat Keberagaman lewat Rasa Dharma

FOTO BERSAMA para pengurus Perkumpulan Sosial Boen Hian Tong. Dua dari kanan adalah Harjanto Halim. Dua dari kiri, Asrida Ulinuha.-Boy Slamet-Harian Disway-

Kebudayaan tidak bertahan dengan sendirinya. Ada orang-orang yang dengan tekun merawat kebudayaan itu. Mengabadikannya, juga membuatnya terus relevan dengan perkembangan zaman. Di antara para penjaga budaya itu ada Harjanto Halim dengan seabrek kegiatan dan caranya.
 
DUA kali Harian Disway mengunjungi markas Perkumpulan Rasa Dharma di Gang Pinggir, Semarang. Dua tahun berturut-turut. Pada 2022 dan 2023. Sama-sama menjelang Imlek.

Kunjungan kedua dilakukan oleh tim ekspedisi Jejak Naga Utara Jawa, Kamis, 19 Januari 2023. Tentu tidak ada yang berubah pada kantor perkumpulan sosial itu. Masih berupa aula luas yang terletak di jajaran ruko-ruko kawasan pecinan Semarang tersebut. Ada tempat fitness sederhana di bagian utara kantor. Di situlah, pada sekat yang membentuk ruangan kecil, Harjanto Halim, Ketua Perkumpulan Rasa Dharma, menunggu kami.
 

Harjanto pun tidak berubah. Lelaki jangkung itu tetaplah seorang yang berpembawaan ceria. Guyonannya nyaris tak berhenti. Dengan ia sendiri yang terbahak setelah mengucapkan guyonannya sendiri.

Bersamanya, tim ekspedisi ini menjelajahi beberapa ruangan di situ. Termasuk ruang kecil yang merekam sekelumit perjalanan perkumpulan yang sudah sangat tua tersebut.

Ya, Perkumpulan Rasa Dharma dulu bernama Boen Hian Tong. Dalam bahasa mandarin disebut sebagai Wenxian Tang (文獻堂). Terjemahan sederhananya, Balai Sastra. Perkumpulan orang-orang pencinta seni.
 

ALTAR untuk Dewa Musik di lantai dua markas Boen Hian Tong, Semarang.-Yulian Ibra-Harian Disway-

’’Ketoke ndhisik perkumpulan wong sugih (tampaknya dulu perkumpulan orang kaya, Red),’’ ucap Harjanto. Kalimat ini memang sebatas dugaan. Tetapi bukan tidak berdasar. Orang-orang yang mencintai seni tentu sudah selesai dengan kebutuhan-kebutuhan mendasar mereka. Sudah tidak lagi memikirkan tetek-bengek soal sandang, pangan, atau papan.

Dan kalimat Harjanto itu menemukan pembenarannya pada foto-foto lawas di ruang kecil tersebut. Di situ ada berbagai potret sejak abad ke-19. Menampakkan para lelaki perlente. Dengan pakaian yang cukup wah. Setelan necis. Memakai setelan jas, dasi, hingga topi bundar. Khas Eropa.

Sejarah Boen Hian Tong memang telah menjulur sejauh 147 tahun. Boen Hian Tong itu mendapat izin resmi oleh pemerintah Hindia Belanda sebagai Vereeniging alias perkumpulan pada 1876. ’’Itu izin resminya. Artinya, bisa jadi sebelum itu sudah ada cikal bakalnya,’’ kata pria kelahiran Semarang tersebut.

Tidak ada catatan resmi tentang kegiatan Boen Hian Tong pada awal berdirinya. Merujuk pada nama perkumpulan, mereka bergiat pada bidang seni dan budaya. Ini juga tampak pada salah satu patung yang ada di rumah perkumpulan itu. Yakni, patung Lo Kun Ya, dewa musik.

Patung dewa itu ditempatkan di ruang altar yang ada di lantai dua. Bersanding dengan dewa-dewa lainnya. Termasuk Kwan Kong. ’’Nah, ini sempat ada peneliti yang bertanya, kok ada Kwan Kong di sini,’’ kata Asrida Ulinuha, humas Rasa Dharma.

Kwan Kong (juga disebut Guandi atau Guan Gong) adalah Dewa Perang. Ia adalah perlambang kesatria sejati yang selalu menempati janji dan setia pada sumpahnya. Karena itu, patungnya ada di banyak tempat. Baik di rumah pribadi, toko, kantor, pengadilan, sampai markas organisasi rahasia atau mafia. Para anggota perkumpulan rahasia biasanya melakukan sumpah sejati di hadapan Kwan Kong.

Lalu, apakah Boen Hian Tong juga punya kegiatan rahasia di zamannya? Tak ada yang bisa memastikan. Perlu kajian lebih dalam.
 

HARJANTO HALIM dipotret di dekat lukisan Gus Dur di markas Boen Hian Tong, Semarang.-Boy Slamet-Harian Disway-

Yang terang, pengurus Rasa Dharma saat ini punya visi baru agar organisasi mereka tetap bisa mengikuti zaman. ’’Perkumpulan ini juga bernama Perkumpulan Sosial Boen Hian Tong. Kami ingin menjadikannya sebagai pusat interaksi keberagaman,’’ kata Harjanto.

Sisi sosialnya tetap dikedepankan. Para anggota, yang berjumlah sekitar 500 orang, saling membantu. Lewat iuran yang cukup kecil. Sebulan hanya Rp 5 ribu. Ini bisa dipakai untuk membantu anggota yang membutuhkan, terutama terkait prosesi kematian dan pemakaman. Mereka juga menyediakan makan siang gratis untuk kaum papa. Setiap Selasa. 

Boen Hian Tong pun aktif dalam berbagai kegiatan untuk menyuarakan keberagaman. ’’Belajar keberagaman itu harus secara nyata. Keberagaman tidak cukup sekadar didiskusikan,’’ ucap CEO PT Marimas Putra Kencana tersebut.

Di bawah pimpinan Harjanto, Boen Hian Tong menjadi organisasi yang benar-benar hadir bagi masyarakat. Bukan perkumpulan elitis yang mungkin terjadi di awal berdirinya, hampir 150 tahun silam.

Karena itu, simbol-simbol keberagaman dan toleransi pun dirawat dengan apik di kantor organisasi itu. Termasuk ’’menghadirkan’’ Gus Dur sebagai salah satu tokoh yang terus mereka apresiasi. (*)
 
*) Tim Harian Disway: Doan Widhiandono, Retna Christa, Yulian Ibra, Tira Mada
 
SERI BERIKUTNYA : Agar Umat Ingat Bapaknya

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: