Series Jejak Naga Utara Jawa (72) : Agar Umat Ingat Bapaknya
BERJAKET NU, Harjanto Halim menghunjukkan salam di dekat lukisan Gus Dur di markas Boen Hian Tong.-Boy Slamet-Harian Disway-
Nah, di ruangan itu ada delapan kursi kayu. Kosong. ’’Tapi, biar kosong, jangan diduduki, lho,’’ ucap Harjanto. Kata alumnus University of California, Davis, Amerika Serikat itu, kursi itu untuk para leluhur. ’’Jadi, seperti kita. Kongco-kongco (leluhur, Red) itu juga perlu kongko-kongko. Ngobrol,’’ katanya lantas terbahak.
Pesan itu pula yang disampaikan ketika tim ekspedisi Jejak Naga Utara Jawa ketika datang pada Kamis, 19 Januari 2023. Sama. Agar kami tidak duduk di kursi kosong tersebut. ’’Itu kalau percaya. Kalau tidak percaya, ya ndak papa. Tapi ndak tahu, lho ya,’’ ujar bapak tiga anak itu.
Kami pun patuh. Daripada leluhur terusik.
Memang, ruangan itu dibaktikan untuk menghormati para leluhur. Yang pertama tentu mereka yang pernah menjadi ketua Boen Hian Tong. Foto-foto mereka terpajang di dinding. Komplet dengan potret berbagai kegiatan. Yang tidak ada di tembok hanyalah foto ketua pertama. Yang menjabat pada 1876. Mungkin ketika itu belum ada kamera di Semarang.
Penghormatan untuk leluhur juga terasa nyata pada altar dengan jajaran sien ci tersebut. Sepasang lilin merah selalu menyala. Juga persembahan makanan di meja altar.
Di altar itulah bukti semangat toleransi Boen Hian Tong tampak. Ada sebentuk sien ci dengan warna cokelat gelap. Puncaknya khas. Seperti joglo. Limas bersusun tiga. ’’Ini bentuknya seperti kubah Masjid Agung Demak,’’ kata Harjanto
PAPAN ARWAH Gus Dur terletak di tengah-tengah altar di antara papan milik leluhur lain.-Boy Slamet-Harian Disway-
Aksara pada sien ci itu berwarna emas. Di tengah, vertikal ke bawah, bertulisan KH Abdurrahman Wahid. Lalu ada kalimat berbahasa dan beraksara Mandarin di kanan-kirinya. Bunyinya: yinhua zhifu, fu ruo guo shi. Maknanya, Bapak Tionghoa Indonesia, guru bangsa, pendukung minoritas.
Begitu besarnya cinta mereka pada Gus Dur sampai papan arwah Presiden ke-4 RI itu ditakhtakan di sana.
Perlakuan untuk papan arwah itu juga sama dengan penghormatan leluhur lain. Ada persembahan makanan di meja altar. ’’Tetapi, karena Gus Dur adalah tokoh muslim, makanannya halal semua. Tidak ada daging babi,’’ ujar Harjanto.
Biasanya, warga Tionghoa mempersembahkan tiga macam daging untuk leluhur. Yakni, daging ayam, ikan, dan babi. Nah, khusus di altar Boen Hian Tong, daging babi diganti kambing.
Gus Dur memang punya tempat khusus di hati warga Tionghoa. Pada era pemerintahan presiden asal Denanyar, Jombang, Jawa Timur, itu, keran kebebasan dibuka. Warga Tionghoa tidak lagi dikekang. Pada 2000, Inpres nomor 14/1967 yang melarang kegiatan warga Tionghoa dicabut. Setahun kemudian, Gus Dur juga menetapkan Imlek sebagai libur nasional bagi yang merayakan. Imlek baru benar-benar menjadi hari libur bagi seluruh warga Indonesia pada 2003. Saat pemerintahan Presiden Megawati Sukarnoputri.
Karena itu, pada 2004, Gus Dur dinobatkan sebagai Bapak Tionghoa Indonesia di Kelenteng Tak Kak Sie, Gang Lombok, Semarang.
Tetapi, apakah mengabadikan Gus Dur dalam papan arwah itu tidak bermasalah? ’’Kami minta izin ke keluarga Gus Dur. Pada 2014, kami mendapat izin dari Bu Shinta Nuriyah,’’ papar Harjanto.
PRASASTI BERISI DOA untuk kesehatan Gus Dur sebagai Bapak Tionghoa Indonesia di markas Boen Hian Tong.-Yulian Ibra-Harian Disway-
Soal Gus Dur yang muslim, kata lelaki kelahiran 18 Desember 1965 itu, juga tidak ada masalah. ’’Agama itu berkaitan dengan akhlak. Agama yang baik menjadikan manusia yang lebih baik. Yang bisa menjunjung kemanusiaan. Dan Gus Dur adalah teladan di situ,’’ katanya.
Penghormatan untuk Gus Dur juga terlihat pada prasasti yang ada di depan meja altar. Prasasti dari batu hitam itu berisi doa demi kesehatan Gus Dur, Sang Bapak Tionghoa Indonesia. Doa itu diatasnamakan dari Warga Nahdlatul Ulama Jawa Tengah dan Warga Tionghoa Semarang.
Harjanto juga kerap mengajak komunitas Tionghoa Semarang untuk nyekar ke makam Gus Dur di Jombang. ’’Lha, katanya, Gus Dur itu Bapak Tionghoa. Lha kok kita orang Tionghoa ndak pernah nyekar bapake,’’ kata Harjanto. (*)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: