Series Jejak Naga Utara Jawa (70) : Tradisi Patekoan yang Masih Dipertahankan
Bangunan ikonik Pantjoran Tea House di sudut kawasan pecinan Glodok Pancoran, Jakarta Barat.-Yulian Ibra-Harian Disway-
SEMBARI menikmati teh puerh di lantai dua Pantjoran Tea House, tim ekspedisi Jejak Naga Utara Jawa ngobrol dengan tea assistant yang sejak awal membantu kami. Ia bercerita, toko teh tersebut buka sejak 2015. Sebelum itu, gedungnya sudah bertahun-tahun kosong.
’’Kalau gedungnya sih sudah ada dari abad ke-17. Fungsinya berganti-ganti. Tapi terakhir, sebelum tutup, ini adalah toko obat,’’ jelas staf tersebut.
Dari sejarah singkat yang kami baca di buku menu, bangunan bergaya paduan kolonial dan oriental itu berdiri sejak 1635. Pada 1928, pemiliknya membuka toko obat yang diberi nama Apotheek Chung Hwa. Sangat populer di zamannya.
Selain karena apotek di zaman itu belum terlalu banyak, Apotheek Chung Hwa dikenal karena bangunannya yang mencolok. Posisinya di ujung Jalan Pancoran dan Jalan Pintu Besar benar-benar menjadi gerbang menuju Batavia. Untuk masuk kota, setiap pendatang pasti melewati tempat itu. Bahkan sampai kini pun, bangunan tersebut masih menjadi ikon kawasan Glodok.
Apotek itu bertahan hingga tiga puluh berikutnya. Sejak dekade 60-an, bangunannya kosong. Hingga makin rusak karena tak terurus.
Sekitar 2013, akhirnya ada yang peduli pada nasib bangunan tersebut. Jakarta Old Town Revitalization Corporation (JOTRC), sebuah konsorsium swasta, berinisiatif memfungsikan kembali gedung Apotheek Chung Hwa. Sebagai bagian dari upaya revitalisasi Kota Tua Jakarta. Sekaligus persiapan nominasi Situs Warisan Dunia UNESCO 2016.
Ketika diperbaiki, kondisi bangunan sudah tinggal 20 persen dari aslinya. Sebagai gedung yang sudah berusia hampir 400 tahun, hanya dindingnya yang masih kukuh. Sementara langit-langitnya sudah ambrol, lantainya retak, dan jendela-jendelanya lapuk. Butuh waktu lama dan biaya besar untuk menyulap gedung itu menjadi secantik sekarang.
Memang, meski nuansanya dibuat kuno, gedung itu terasa baru. Sebagian besar perabotnya hasil reproduksi. Terlihat dari tekstur yang halus dan sangat mengilap. Tapi soal struktur bangunan, seluruhnya masih mempertahankan bentuk asli.
NGETEH ASYIK dalam atmosfer masa silam di Pantjoran Tea House, Jakarta.-Instagram Pantjoran Tea House-
Lalu, dari mana muasalnya gedung itu dijadikan kafe teh?
Rupanya, hal itu terinspirasi dari kisah Kapiten Gan Djie. Seorang warga Tionghoa terpandang yang oleh Belanda ditugasi memimpin kawasan Glodok. Meski diberi jabatan, ia dan istrinya sangat baik terhadap warga sekitar.
Sang kapitan bahkan memiliki kebiasaan unik. Yakni, meletakkan delapan teko teh di depan kantornya, di Jalan Perniagaan. Siapa pun yang lewat di depan kantor Gan Djie boleh meminumnya. Pekerja kasar, buruh, tukang bangunan, pedagang di Glodok, dan sebagainya.
Tradisi itu dinamakan patekoan. Pat artinya delapan. Jadi, delapan teko. Simbol kebaikan dan murah hatinya sang kapitan Tionghoa.
Karena itulah, di depan Pantjoran Tea House, selalu terdapat teko-teko teh yang disusun berjajar. Dilengkapi cangkir mungil dari enamel memberi kesan lawas. Seperti kebiasaan Gan Djie, siapa saja yang lewat boleh menuang teh dan meminumnya. Gratis. ’’Jadi patekoan itu memang tradisi peranakan. Asli Glodok. Di Tiongkok tidak ada,’’ jelas staf Pantjoran Tea House.
Fasilitas itu berhenti pada awal pandemi Covid-19, Maret 2020. Namun, ketika pembatasan sudah longgar, dan dine-in sudah diizinkan, patekoan diadakan lagi. Jika angka Covid sedang tinggi, teko-tekonya hanya dijajar di depan restoran sebagai dekorasi buat yang ingin foto-foto.
CYCLIST Rahab Ganendra berfoto dengan teko teh di depan Pantjora Tea House.-Instagram Pantjoran Tea House-
Cukup banyak yang memanfaatkan fasilitas yang disediakan Pantjoran Tea House. Dari unggahan-unggahan di media sosial, tak sedikit para influencer sepeda yang mampir mencicip teh gratis. Untuk sekadar meningkatkan kadar gula darah. Serta tentunya, mengisi feed Instagram.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: