Series Jejak Naga Utara Jawa (68) : Minum Teh pun Harus Dengan Gaya

Series Jejak Naga Utara Jawa (68) : Minum Teh pun  Harus Dengan Gaya

Retna Christa, anggota tim ekspedisi Jejak Naga Utara Jawa, menuangkan air mendidih ke dalam teko tembikar.-Yulian Ibra-Harian Disway-

Warisan-warisan budaya Tionghoa terawat sangat baik di balik riuhnya kawasan Glodok, Jakarta Barat. Salah satu peninggalan yang dilestarikan adalah seremoni minum teh secara tradisional. 
 
HARI sudah larut ketika tim Jejak Naga Utara Jawa bersiap meninggalkan Glodok. Dari Petak Enam, kami berjalan kaki menuju jalan Gajah Mada, tempat mobil diparkir. Kaki sudah protes minta direndam air panas. Perut juga sudah meronta menuntut diisi. Makan siang di Uncle Tjia’s Kitchen sudah tak tersisa. 
 
 
Namun, ada bangunan yang menarik perhatian kami. Pantjoran Tea House berdiri megah di ujung Jalan Pancoran. Bangunan bergaya kolonial itu berbentuk heksagonal. Salah satu sisinya menghadap Jalan Pancoran. Sedangkan sisi lainnya menghadap Jalan Pintu Besar Selatan. Dinas Kebudayaan DKI Jakarta menggolongkannya sebagai cagar budaya. 
 
Kami galau. Hati kecil kepingin pulang. Tapi kafe itu seperti memanggil-manggil. Kami memutuskan mampir. Karena toh, sudah begitu dekat dengan tempat kami berdiri. 
 
Dan itu adalah salah satu keputusan yang tak pernah kami sesali. 
 
 
’’Kami tutup pukul sembilan,’’ kata seorang staf di konter kasir. Kami melirik jam. Baru 19.45 WIB. Cukup, lah, untuk mencicipi experience minum teh tradisional Tionghoa. Staf itu mempersilakan kami naik ke lantai dua. Karena kursi-kursi di lantai satu sudah diberesi. Dibalik di atas meja.  
 
Restoran itu menyediakan berbagai kuliner otentik Tiongkok maupun peranakan. Mulai ayam ginseng, aneka olahan seafood, sampai dimsum. Namun, kami ke sana khusus untuk minum teh. Maka, pilihan kami jatuh pada set shou puerh tea. Diproduksi pada 1995. Dan diimpor langsung dari Negeri Panda. 
 
Seorang staf dengan cekatan menyiapkan seperangkat perlengkapan. Terdiri atas nampan saring dari kayu, dua macam teko (satu dari tembikar, satu lagi dari kaca dilengkapi penyaring), cawan, serta gelas kecil dan mangkuk mungil. Ada juga kaleng bambu berisi peralatan minum. Ada capit, sendok, needle, serta corong. Plus seteko air mendidih. 
 

Mangkuk mungil, teko kaca, teko tembikar yang menjadi peranti kungfu cha di Pantjoran Tea House.-Yulian Ibra-Harian Disway-
 
’’Mari kita mulai seremoni minum tehnya,’’ kata staf yang mengenakan kemeja berkerah shanghai itu. ’’Seremoni ini disebut kungfu cha. Kungfu adalah serangkaian gerakan, dan cha adalah teh. Jadi, singkatnya, ini adalah minum teh dengan tata cara atau gerakan khusus,’’ terangnya. 
 
Seremoni terdiri dari tiga tahap. Pertama, mensterilkan perlengkapan. Lalu, mencuci teh. Dan yang terakhir menyeduh teh. 
 
Staf tersebut mengawali seremoni dengan menunjukkan teh berbentuk lempengan kering. Itulah shou puerh. Puerh adalah teh hitam terkenal dengan cita rasa segar dan pekat. Serta kaya manfaat buat kesehatan. Sedangkan shou artinya fermentasi. Jadi, ini teh hitam hasil fermentasi. Sang staf memotong lempengan itu jadi kecil-kecil, lalu meletakkannya di cawan putih berbentuk daun.  
 
Ia lantas menuangkan air mendidih ke dalam teko kecil dari tembikar. ’’Tuang dengan gerakan memutar,’’ katanya, sembari memeragakan. Dari teko tembikar, air panas dituang ke teko mungil lain yang dari kaca. Lalu, dari teko kaca, air dituangkan lagi ke gelas dan mangkuk kecil. 
 

Teh puerh yang difermentasi ini menjadi pilihan tim Jejak Naga Utara Jawa.-Yulian Ibra-Harian Disway-
 
Dengan menggunakan capit bambu, sang staf membuang air dari perabot-perabot mungil itu ke nampan saring. ’’Pakai capit agar tidak kena tangan. Agar tak terkontaminasi apa pun,’’ jelasnya. ’’Oh ya, karena tehnya fermentasi, maka airnya harus mendidih banget. Harus pas 100 derajat Celsius,’’ ia memaparkan. 
 
Ngomong-ngomong, kenapa peralatan minum tehnya begitu mungil-mungil? ’’Agar kita bisa merasakan aroma teh dengan maksimal,’’ jelas staf tersebut. ’’Kalau tempatnya besar, hanya menghilangkan dahaga,’’ tambahnya. Oh ya, teh puerh sebaiknya disajikan tawar. Kalau ditambah pemanis, cita rasa dan aromanya hilang seketika. 
 
Tahap pertama selesai. Kita masuk tahap kedua: mencuci teh. Staf mengambil sepotong daun teh dan memasukkannya ke teko tembikar. Lalu dituangi air panas. Didiamkan beberapa detik. Jangan terlalu lama. Karena tujuannya hanya membuat teh mengembang. Setelah itu, air bilasannya dibuang ke teko kaca. Didiamkan lagi. Lalu airnya dibuang. 
 

Seduhan teh puerh yang menghangatkan perjalanan tim ekspedisi Jejak Naga Utara Jawa di kawasan Glodok Pancoran, Jakarta Barat, 15 Januari 2023.-Yulian Ibra-Harian Disway-
 
Nah, kini, teh sudah bisa diseduh. Penyeduhannya tetap di teko tembikar. Didiamkan selama 20 detik saja, aromanya sudah menguar. Kemudian disaring di teko kaca. Teh siap diminum. 
 
Dari teko kaca, sang staf menuangkannya ke gelas kecil. Lalu dari situ, baru dituang ke mangkuk. Sebelum meminumnya, staf itu mengajak kami menghirup aroma teh yang tertinggal dalam gelas kosong. ’’Ini untuk menghargai petani serta para pembuat teh,’’ jelasnya. Kami mengikuti gerakan dia. Wangi teh yang khas tercium kuat. 
 
Bagaimana rasanya? (*)
 
*) Tim Harian Disway: Doan Widhiandono, Retna Christa, Yulian Ibra, Tira Mada.
 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: