Series Jejak Naga Utara Jawa (66) : Filosofi dalam Semangkuk Bubur

Series Jejak Naga Utara Jawa (66) : Filosofi dalam Semangkuk Bubur

Ditemani berbagai hidangan khas peranakan Tionghoa Semarang, Retna Christa (kiri) berbincang dengan Asrida Ulinuha di Waroeng Kopi Alam.-Yulian Ibra-Harian Disway-

Warung Kopi Alam konsisten menyajikan menu-menu peranakan Semarang. Karena peranakan, sudah pasti cocok di lidah masyarakat setempat. Mulai makanan pembuka, main course, dessert sampai kopi tersedia. 

APA sih kuliner peranakan itu? Asrida Ulinuha, co-founder Warung Kopi Alam, memulai obrolan dengan tim Jejak Naga Utara Jawa Harian Disway dengan pertanyaan mendasar. Peranakan bisa dimaknai sebagai percampuran. Gabungan dua ras berbeda, dengan akar budaya masing-masing, bersatu. Membentuk satu keturunan. Itulah peranakan. 

’’Kalau dalam konteks kuliner, makanan peranakan adalah fusion,’’ jelas Ulin, sapaan akrab perempuan mungil berambut pendek itu. Karena dia mengambil peranakan Tionghoa di Semarang, maka makanan di warung itu merupakan paduan unsur kuliner Tionghoa dan Jawa Tengah. 
 

Dia memesankan beberapa makanan buat kami. Ada bubur ayam hainan, tau suan, mi kampung, rondo royal, dan secangkir kopi o panas. Sembari menyantapnya, Ulin menceritakan filosofi di balik sajian-sajian tersebut. 

Yang pertama adalah bubur ayam hainan. Tampilannya sederhana. Hanya berupa bubur beras putih dengan sedikit topping. Yakni bawang goreng, irisan daun bawang, serta tongcai atau sayur asin. Tak seperti bubur ala Sunda atau Jakarta yang permukaannya tertutup toping. ’’Memang kuliner Hainan terkenal akan kesederhanaannya,’’ kata Ulin. 

Dia memberi contoh masakan ayam. Jika ingin menonjolkan rasa jahe, maka bumbu yang digunakan hanya jahe. Paling ditambah garam sedikit, untuk menguatkan rasa. Ikan juga begitu. Biasanya, mereka mengolah ikan hanya dengan cacahan bawang putih dan jahe, lalu dikukus. Namun, justru di situlah tingkat kesulitannya. 

’’Karena bumbunya sangat minimalis, kalau ayamnya enggak seger, langsung ketahuan. Jadi bahan-bahan di masakan hainan harus sangat fresh. Kalau enggak, rasanya rusak,’’ papar perempuan 43 tahun itu. 

Tidak akan ada perdebatan apakah bubur ayam hainan harus diaduk atau tidak diaduk. Sebab, potongan ayam dan jamurnya sudah tercampur dalam bubur. Keduanya diolah langsung bersamaan dengan beras. Sehingga rasanya langsung meresap. Maka, tak heran kalau aroma kaldu ayamnya sangat kuat. Gurih. Apalagi saat berpadu dengan daun bawang dan bawang goreng yang renyah.  
 

Bubur Ayam Hainan yang penampilannya begitu sederhana. Simpel tapi lezat.-Doan Widhiandono-Harian Disway-

Cerita di balik tau suan tak kalah menarik. ’’Tau suan itu artinya butiran mutiara,’’ kata Ulin. Itu sebenarnya bubur kacang hijau. Bedanya dengan yang biasa, di sini butiran kacang hijaunya dikupas bersih. Sampai tinggal isinya yang kuning cerah. Seperti bias warna mutiara jika dimasukkan ke dalam air. 

Ulin menemukan makanan itu di pedagang keliling. Yang berjualan adalah seorang bapak tua. Di keluarganya, ia merupakan generasi ketiga yang menjual makanan langka tersebut. Katanya, kakek si bapak mendapatkan resepnya langsung dari babah-babah Tionghoa. ’’Ini menu penting di Warung Kopi Alam. Karena saya ngambil konsep peranakan Semarang,’’ jelas Ulin. 

Tau suan disajikan bersama santan. Tapi dipisah. Persis seperti cara penyajian ala gerobak si bapak tua. Pelanggan bebas menuang sesuai selera. Manis, legit, dan ada gurih dari santan.  
 

Tau suan yang berbahan kacang hijau ini adalah salah satu menu khas di Waroeng Kopi Alam, Semarang.-Doan Widhiandono-Harian Disway-

Oh ya, tau suan juga punya topping. Yakni cakue. Menurut Ulin, cakue adalah penganan asli Tiongkok. Namanya diambil dari menteri kerajaan Dinasti Song, Qin Hui (atau dibaca Chin Kwe). Menteri ini melakukan suatu kejahatan yang membuat rakyat murka. 

’’Saking marahnya, mereka membuat festival makan orang. Tepung dibanting, dibentuk kayak orang, lalu digoreng. Lalu dinamakan chin-kwe, seperti nama menteri yang jahat tadi,’’ cerita Ulin dengan berbinar-binar. ’’Menurut saya, ini penting diceritakan. Karena khas peranakan sekali,’’ imbuh ibu dua anak tersebut.   

Bagaimana dengan rondo royal? Dari mana unsur peranakannya?

Well, orang Jawa mengenal makanan ini sebagai tape goreng. Dan itu berasal dari budaya lokal. Singkong, difermentasi, lantas digoreng. Namun jadi menarik justru karena dinamai rondo royal. Ulin mencari-cari ke sana kemari. Ada hubungan apa janda (rondo) dengan keluarga kerajaan (royal)? Tapi tak ketemu. 
 

Rondo royal alias tape goreng yang namanya dipengaruhi bahasa Belanda.-Doan Widhiandono-Harian Disway-

Hingga dia bertanya pada gurunya, budayawan dan penulis Jongkie Tio. Sebagai penutur bahasa Belanda, Jongkie menyebut bahwa rondo adalah pelafalan lokal dari kata-kata dalam bahasa Belanda ronde. Artinya bulat. Atau lingkaran. Setelah ditelusuri, tape goreng (yang berbentuk bulat) sering disajikan dalam acara-acara pesta. 

’’Sebenarnya tidak ada catatan sejarah resmi yang memvalidasi teori ini ya. Tapi kalau dilihat dari sudut pandang linguistik, ya nyambung,’’ kata Ulin, lantas tertawa renyah. Serenyah gorengan tape berbalut tepung berwarna cokelat keemasan di hadapan kami. 

Kami pulang dengan perut kenyang, otak yang penuh, dan hati yang riang. (*)
 
*) Tim Harian Disway: Doan Widhiandono, Retna Christa, Yulian Ibra, Tira Mada.
 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: