Series Jejak Naga Utara Jawa (65): Warung Pelestari Akar Budaya Peranakan

Series Jejak Naga Utara Jawa (65): Warung Pelestari Akar Budaya Peranakan

Asrida Ulinuha berpose di meja kasir Waroeng Kopi Alam, Semarang.-Yulian Ibra-Harian Disway-

Berdiri pada 27 Desember 2018, Waroeng Kopi Alam, Jalan Singosari Timur, Semarang, mengusung misi besar. Tidak cuma tempat nongkrong, tetapi ada kepingan-kepingan pelajaran yang bisa diambil di situ. Lewat menu-menunya.
 
WAROENG Kopi Alam tak perlu memajang tulisan terbuka bahwa mereka mengusung cita rasa budaya peranakan. Kesan itu sudah tampak pada aneka dekorasi yang tersebar di sudut-sudut kafe tersebut.

Lampion merah bergelantungan di kanopi areal outdoor. Berdampingan dengan Chinese knot, simpul tali merah yang biasa dipakai untuk hiasan kala Imlek. Di dinding selatan teras ada mural. Menggambarkan sebuah warung dengan dua pelanggan di dalam. Gambar sesosok perempuan mengintip lewat jendela yang terbuka. Dan di bawah jendela itu ada perempuan yang berjualan dengan gerobak. Seperti penjaja gorengan.

Karena itu, sah-sah saja jika kita membayangkan sedang berada di salah satu ruas jalan di Georgetown, Penang, Malaysia saat nongkrong di teras Waroeng Kopi Alam. Nyeni. Dengan atmosfer budaya peranakan yang mencuat.
 

Nuansa itulah yang menemani tim ekspedisi Jejak Naga Utara Jawa pada Kamis petang, 19 Januari 2023. Suasana yang asyik. Terlebih setelah Asrida Ulinuha tiba. Dia adalah perempuan mungil yang menyenangkan. Nada bicaranya riang, pas sebagai kawan ngobrol. Kalimat-kalimatnya juga bisa berisi, cocok sebagai kawan diskusi.

Ulin, sapaan Asrida Ulinuha, adalah co-founder Waroeng Kopi Alam. Sehari-hari, dia berperan sebagai manajer operasional di kedai tersebut.

Kami sudah memesan beberapa camilan dan minuman saat Ulin tiba. Tetapi, perempuan kelahiran 22 Januari 1980 itu rupanya ingin memamerkan satu menu anyar. Yang masih belum ada di daftar menu. Yaitu, lontong cap go meh.

’’Cobain, dong. Aku pengen tahu komennya,’’ ucap alumnus Jurusan Pendidikan Bahasa Inggris Universitas Negeri Semarang (Unnes) tersebut.

Penampilan lontong cap go meh itu sejatinya cukup meyakinkan. Komplet. Ada sayur lodeh, ayam suwir, separo telor, daging ala rendang, plus kerupuk udang. Kami pun saling mencicipi menu peranakan tersebut. Menu yang biasa dihidangkan saat peringatan cap go meh, yang di Tiongkok pun tidak ada. Rasanya oke. Tetapi, Ulin memang belum puas. Dia masih ingin membuatnya lebih oke. Kita tunggu saja…

Jika goal, lontong cap go meh itu akan melengkapi menu-menu peranakan yang ada di Waroeng Kopi Alam. Akan semakin melengkapi spirit kafe itu.
 

Mural cantik di teras depan Waroeng Kopi Alam, Semarang.-Boy Slamet-Harian Disway-

Sejak kali pertama diluncurkan, kafe yang didirikan Ulin bersama Alamsyah Djaynurdin itu memang ingin mengusung budaya peranakan Tionghoa. ’’Terutama Tionghoa Semarang. Kami berusaha melestarikan akar yang telah menjadi bagian dari keseharian kita. Kalau bukan kita, siapa lagi?’’ tutur Ulin.

Ketertarikan Ulin pada budaya Tionghoa itu memang tidak terlepas dari kegiatannya. Boleh dibilang, dia adalah pegiat dan pemerhati budaya di Semarang. Ulin juga menjadi humas Perkumpulan Rasa Dharma (Boen Hian Tong), perkumpulan sosial yang sudah berdiri sejak 1876. Dan di situ, sosok Ulin menjadi unik. Dia asli Jakarta dan bukan suku Tionghoa. ’’Jadi, orang memperhatikan, ya kan,’’ ucapnya.

Boleh dibilang, Waroeng Kopi Alam bisa menjadi tempat belajar banyak hal. Pengetahuan tentang kultur peranakan mewujud lewat dekorasi kafe. Juga papan nama di atas tempat kasir. Warnanya merah-kuning dengan garis dekoratif khas Tionghoa.

Di salah satu sudut juga ada rak buku yang bisa dibaca-baca oleh pengunjung. Beberapa koleksinya tentang sejarah Semarang dan warga peranakan. Misalnya, Riwayat Semarang karya Liem Thian Joe. Atau, Semarang City; A Glance into the Past karya Jongkie Tio, seorang pemerhati budaya Semarang.
 

Sudut baca di dalam Waroeng Kopi Alam, Semarang. Di situ banyak buku tentang sejarah Semarang.-Boy Slamet-Harian Disway-

Lalu kenapa namanya warung kopi? ’’Ya, karena ini warung kopi,’’ katanya lantas tertawa. Ulin memang coffee enthusiast. Itu tampak pada menu-menu kopi yang begitu beragam di kedainya. Dan tidak dimungkiri, nuansa peranakan tetap tidak terlepas. Terutama peranakan Tionghoa-Melayu. Itu terlihat pada Kopi O, yang hingga kini masih banyak disajikan di Malaysia dan Singapura.

Yang unik, dengan segala spirit itu, Waroeng Kopi Alam masih menyediakan mi instan. ’’Karena, mindset orang Indonesia, warung harus ada mi instan. Jadi ya kami sediakan,’’ katanya.
 
Tentu saja, bukan mi instan itu yang memungkasi perbincangan mengasyikkan dengan Ulin tersebut. Saat malam menjelang, menu-menu istimewa yang kami beli itu akhirnya keluar. Menu khas kaum peranakan. (*)
 
*) Tim Harian Disway: Doan Widhiandono, Retna Christa, Yulian Ibra, Tira Mada.
 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: