Kawin Tangkap: Setelah Ditangkap, Dikawini, Benarkah Budaya Masyarakat NTT?

Kawin Tangkap: Setelah Ditangkap, Dikawini, Benarkah Budaya Masyarakat NTT?

Ilustrasi kawin tangkap di Sumba Barat Daya, NTT.- Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-

Akhirnya, Bupati Sumba Tengah Paulus S.K. Limu menandatangani kesepakatan, menolak kawin tangkap. Acara penandatanganan diadakan di Waingapu, Sumba, 2 Juli 2020. Di hadapan Menteri PPPA Bintang Puspayoga.

Bupati mengatakan, ”Itu bukan budaya Sumba. Itu merendahkan wanita.”

Menurut data yang dikumpulkan Aprissa Taranau, ketua Badan Pengurus Nasional Persekutuan Perempuan Berpendidikan Teologi di Indonesia (Peruati) Sumba, setidaknya ada tujuh kasus kawin tangkap sepanjang 2016 hingga Juni 2020, termasuk kejadian yang menimpa Citra.

Pengamat budaya Sumba, Frans Wora Hebi, kepada wartawan, menjelaskan bahwa kawin tangkap bukan budaya Sumba.

Frans: ”Yang budaya itu ialah kawin yang melalui prosedur. Jadi, mula-mula, kalau anak laki-laki kita mau ambil istri, harus datangi orang tua perempuan. Lalu, pihak lelaki menanyakan ke pihak keluarga perempuan. Itu pun bukan menanyakan secara langsung, tapi masih pakai bahasa simbolisme. Misalnya, apakah di sini ada pisang yang sudah ranum? Tebu yang sudah berbunga?”

Jika pihak keluarga perempuan menjawab ”ada”, berarti mereka setuju anak gadis mereka dipinang pihak keluarga lelaki. Jika jawabannya ”tidak”, berarti mereka menolak. Dan, pihak keluarga lelaki tidak boleh memaksa.

Adat budaya Sumba anggun seperti itu. Bukan dengan tindak kekerasan penculikan.

Frans: ”Kawin tangkap adalah tindakan kekerasan yang mengatasnamakan budaya Sumba. Awalnya mereka bertindak kekerasan, menculik, lalu menyekap anak perempuan yang diculik. Setelah berhari-hari berada di rumah pihak lelaki, perempuan itu akan terpaksa mau. Itu pemaksaan.”

Ketua DPRD Sumba Tengah Tagela Ibi Sola kepada wartawan Jumat mengatakan, itu bukan bagian dari budaya Sumba. Melainkan kekerasan alias tindak kriminal pria terhadap wanita, yang di kemudian hari (pasca penculikan) akan diselesaikan oleh pihak penculik menggunakan kerangka budaya. Atau seolah-olah itu budaya Sumba.

Tagela Ibi Sola: ”Jadi, itu tindak kekerasan atau penculikan. Nantinya, setelah si perempuan disekap di rumah si pria, lalu dikawini, mereka tinggal serumah, barulah beberapa waktu kemudian digelar upacara perkawinan adat. Mereka sebut itu adat Sumba.”

Sekarang jelas, kawin tangkap adalah tindakan kriminal yang pelakunya sembunyi di balik adat budaya. Itu berlangsung sangat lama. Dengan demikian, masyarakat merasa bahwa itu budaya Sumba.

Namun, di kasus yang terjadi Kamis  itu ternyata berbeda. Tidak seperti yang digambarkan di atas. Bahwa kawin tangkap adalah penculikan.

Ibu kandung MD, bernama Martha Ngongo, ketika dihubungi wartawan, menceritakan bahwa penculikan itu terjadi atas permintaan dia kepada pihak calon besan. 

Diungkap juga, antara MD dan Yohanis Bilib Tanggu (pemuda yang menculik) sudah saling kenal. Martha Ngongo setuju MD dinikahi Yohanis. Juga, keluarga Yohanis setuju punya menantu MD. Keluarga kedua pihak sudah setuju.

Martha Ngongo: ”Saya sendiri yang menyuruh anak saya untuk dilakukan kawin tangkap. Saya yang melahirkan dia sehingga saya berhak menentukan anak saya kawin dengan laki-laki yang saya pilih.”

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: