Kawin Tangkap: Setelah Ditangkap, Dikawini, Benarkah Budaya Masyarakat NTT?

Kawin Tangkap: Setelah Ditangkap, Dikawini, Benarkah Budaya Masyarakat NTT?

Ilustrasi kawin tangkap di Sumba Barat Daya, NTT.- Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-

Dirreskrimum Polda NTT Kombes Patar M.H. Silalahi kepada wartawan, Jumat, 8 Sepetember, mengatakan bahwa tiga tersangka pria sudah ditahan untuk dimintai keterangan. Menurutnya, perempuan MD masih pelajar SMA. Sudah dipulangkan ke rumah orang tua.

Kombes Patar: ”Kami akan menindak tegas dan tuntas. Karena korban MD sebagai pelajar yang baru berusia 20 tahun seharusnya mendapatkan kehidupan yang lebih baik.”

Dilanjut: ”Saya sudah sampaikan ke Kapolres Sumba Barat Daya, supaya dipercepat kasus ini, untuk dilimpahkan ke kejaksaan. Tiga pelaku ini yang bersama-sama menangkap paksa korban, sudah berstatus tersangka.”

Kalau itu kejadian budaya Sumba, mengapa polisi menangkap para pelaku? ”Kami akan periksa bersama para tetua adat Sumba, apakah itu bagian budaya? Tapi, sudah ada bukti bahwa itu tindak kekerasan. Kami menangani tindak kekerasan,” jawab Kombes Patar.

Ternyata kawin tangkap jadi perdebatan masyarakat Sumba dalam beberapa tahun ini. Antara budaya atau tindak kekerasan. 

Itu terjadi pada Citra (nama samaran) pada akhir Juni 2020 di Kabupaten Sumba Tengah. Dia diculik delapan pemuda saat pulang dari suatu pertemuan. Lalu, diangkut dengan pikap. Menuju suatu tempat.

Citra waktu itu berusia 28 tahun. Sudah punya pacar. Kepada wartawan, dia cerita, setelah tiba di rumah orang yang memerintahkan menculik, dia tahu bahwa ada pemuda yang menginginkan dia jadi istrinya. Dia tidak kenal pemuda itu.

Citra berontak, berusaha lepas. Tapi, tak mampu. Dikeroyok banyak pemuda, sampai tiba di rumah penculik. Di kesempatan tipis itu, dia mengirimkan SMS (waktu itu di sana masih ada SMS) ke keluarga.

Citra: ”Sampai di rumah pelaku, sudah banyak orang. Sudah pukul gong, kebiasaan masyarakat adat. Pokoknya ada ritual yang sering terjadi ketika lelaki Sumba bawa lari perempuan.”

Citra bertahan tidak mau dinikahkan dengan pemuda penculik. Dia terus menangis berjam-jam. Memberikan isyarat bahwa dia menolak pernikahan itu.

Citra: ”Keluarga mereka tetap memaksa saya. Saya menangis, sampai kerongkongan saya kering. Berjam-jam.”

Citra diberi minum, ditolak. Diberi makanan, ditolak. Kata Citra, itu bisa mengandung guna-guna. Orang yang semula menolak bisa berubah pikiran jadi mau. Maka, ia menolak semua tawaran. 

Dua hari Citra tidak makan-minum. Akhirnya lemas. Kebetulan, kemudian keluarga Citra bisa menemukan lokasi penyekapan itu. Keluarga datang bersama tim polisi.

Citra dibebaskan polisi. Namun, kebebasan tidak otomatis membuat Citra senang. Sebab, masyarakat memberi stigma bahwa Citra menolak adat budaya Sumba. Akhirnya Citra menikah dengan sang pacar.

Kejadian itu heboh. Sebulan kemudian, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Bintang Puspayoga datang ke Sumba Tengah, mencari tahu tentang itu. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: