Sejarah Revolusi Transportasi Darat di Indonesia

Sejarah Revolusi Transportasi Darat di Indonesia

Ilustrasi Jokowi resmikan transportasi darat berupa kereta cepat WHOOSH.- Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-

Kereta api telah mengubah wajah Jawa dengan sangat cepat. Kota-kota yang telah muncul sejak zaman Jalan Raya Pos menjadi jauh lebih dinamis setelah tersambung dengan jaringan kereta api. 

Mobilitas manusia menjadi lebih cepat yang tentu saja berdampak terhadap pola ekonomi dan pola hidup mereka dalam keseharian. 

Sebagai contoh, pada 1920 jumlah penumpang kereta api mencapai 12 juta orang. Itu menandakan bahwa sebagian penduduk Jawa telah menjadi bagian dari mobilitas yang difasilitasi kereta api. 

Kehadiran kereta cepat WHOOSH walaupun masih terbatas menghubungkan Jakarta–Bandung adalah kelanjutan dari revolusi transportasi di Indonesia. Kehadirannya melengkapi kehadiran jalan tol yang pelan tapi pasti akan menghubungkan hampir semua kota di Indonesia. 

Kereta cepat akan menjadi salah satu solusi untuk mengatasi hambatan bisnis yang selama ini terkendala kemacetan lalu lintas di kota-kota di Jawa. Perputaran roda ekonomi akan makin cepat berkat kelancaran laju distribusi barang dan orang yang terlibat langsung dalam aktivitas tersebut. 

Jika rencana perpanjangan jalur kereta cepat sampai Surabaya bisa direalisasikan, bisa dipastikan posisi Jawa sebagai jantung perekonomian Indonesia akan kian kuat. Ke depan pembagian peran kota makin jelas, dengan kota-kota di Jawa berfungsi sebagai pusat bisnis. 

Sementara itu, Ibu Kota Nusantara (IKN) yang berpusat di Kalimantan akan diposisikan sebagai pusat administrasi yang diharapkan akan mendorong pula percepatan pemerataan ekonomi. 

Kereta cepat WHOOSH akan menjadi simbol modernisasi transportasi manakala kehadirannya juga mendorong masyarakat pengguna dan pengelola menjadi manusia modern pula. 

Manusia modern ditandai dengan cara bertindak yang efisien serta menjadi sosok yang pandai memelihara apa yang telah dibangun. Tanpa itu semua, WHOOSH akan cepat usang dan menjadi barang biasa. (*)

 

 


Purnawan Basundoro, dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga.-Humas Unair-

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: