Ini Perbedaan Antara Hindu Tengger dan Hindu Bali

Ini Perbedaan Antara Hindu Tengger dan Hindu Bali

Umat Hindu Tengger dalam upacara Semeninga. Mereka hidup rukun dan harmonis.-Ahmad Rijaluddin-

PASURUAN, HARIAN DISWAY - Masyarakat Tengger yang tinggal di kawasan Bromo di empat kota: Pasuruan, Malang, Probolinggo dan Lumajang, hidup dengan harmonis. Mayoritas mereka memeluk agama Hindu. Selebihnya adalah Islam dan Kristen.

Kunci keharmonisan mereka adalah memegang teguh filosofi Tri Hita Karana. Filosofi yang menekankan hubungan antara manusia dengan Tuhan, dengan sesama manusia serta dengan alam semesta.

Dalam umat Hindu Tengger sendiri, terdapat dua tata cara yang berbeda. Ada yang masih memeluk tradisi Tengger, ada pula yang mengikuti tata cara Hindu Bali.

BACA JUGA: Membaca Kalender Jawa ala Suku Tengger

BACA JUGA: Rayakan Tahun Baru, Warga Tengger Berlomba Bunyikan Musik Tradisi Menuju Gunung Bromo

Masyarakat Suku Tengger yang memegang teguh tradisi setempat, melakukan berbagai upacara dan tradisi, yang pelaksanaannya berbeda dengan Hindu Bali. Seperti Kasada, Kaso dan sebagainya.

Begitu pun mantera dan kebiasaan-kebiasaan lainnya. Mereka menggunakan bahasa Jawa dalam doa serta dalam interaksi sehari-hari.

Seperti terlihat saat upacara Semeninga, yang digelar umat Hindu Tengger pada 8 Oktober 2023, dalam rangka Ruwat Rawat Segara Gunung, Eksotika Bromo 2023. Mantera-mantera yang dilantunkan, sebagian berbahasa Jawa.

"Ini cara kami untuk memuja Hyang Widhi dan bersyukur terhadap alam Bromo yang telah memberi kami kehidupan," ujar Pemangku Sutaji, pemimpin peribadatan dalam upacara tersebut.

Itu merupakan tradisi Suku Tengger yang lestari bertahun-tahun. Upacara Semeninga dalam makna lainnya, adalah cara bagi warga setempat untuk meminta izin pada leluhur, ketika hendak melakukan hajatan besar.

Sedangkan yang memakai tata cara Bali, beribadah dengan cara tersebut. Namun, mereka yang memakai tata cara itu juga kerap bergabung dengan Suku Tengger, untuk melakukan upacara-upacara tradisi.

Perbedaan Hindu Bali dan Hindu Tengger, bagi mereka bukan masalah. Sebab, konsep beragama mereka berlandaskan Desa Kala Patra.

Desa berarti tempat, kala artinya waktu dan patra adalah situasi, kondisi. Maka, Desa Kala Patra bermakna sebagai keluwesan atau kebebasan untuk menyesuaikan diri dengan adat-istiadat setempat.

BACA JUGA:Rayakan Tahun Baru, Warga Tengger Berlomba Bunyikan Musik Tradisi Menuju Gunung Bromo

BACA JUGA:Rayakan Kasada, Berikut Tahapan Warga Suku Tengger sebelum Tunaikan Yadnya Kasada

"Hindu adalah kepercayaan. Desa adalah wadahnya. Di mana kita tinggal, kita boleh menggunakan cara setempat untuk melakukan pemujaan dan berdoa pada Hyang Widhi," ujar Afizki Arif Ridwan, tokoh Pemuda Hindu Tosari, Pasuruan.

Dalam prinsipnya, Desa Kala Patra merupakan bentuk keleluasaan bagi umat Hindu untuk melakukan re-interpretasi dan improvisasi secara terus menerus. Menyesuaikan dengan tata cara atau adat-istiadat yang berlaku, selagi itu tak menyimpang dari tuntunan kitab suci.

Tri Hita Karana dan Desa Kala Patra adalah pedoman dan kunci keharmonisan Suku Tengger. Mereka hidup dan tinggal sebagai masyarakat toleran dan memiliki kesadaran untuk menjaganya. (*)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: