Pengukuhan Guru Besar Universitas Airlangga: Kritik di Tahun Politik

Pengukuhan Guru Besar Universitas Airlangga: Kritik di Tahun Politik

Ilustrasi kritik di tahun poltik.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-

Dalam masyarakat yang terpolarisasi seperti itu, kritik akhirnya akan terjerumus menjadi instrumen untuk menyerang lawan tanpa ada maksud untuk memperbaiki keadaan.

Kritik dalam dunia linguistik sebetulnya termasuk tindak tutur ekspresif. Memang, dalam praktiknya, kritik adalah tindakan linguistik yang rawan mengancam muka, mempermalukan orang atau pihak lain. 

Bagi orang-orang yang alergi kritik, masukan yang mereka terima –seberapa pun penting dan benarnya– akan dianggap sebagai serangan yang mematikan. Untuk itu, bukannya menerima kritik untuk bahan memperbaiki kekurangan, kritik yang dilontarkan akan dianggap sebagai bentuk penghinaan dan merongrong kewibawaan sehingga harus dibalas dengan kritik lain yang membungkam suara lawan.

 

Alergi Kritik

Kritik sesungguhnya bukan hal yang harus ditabukan, apalagi haram dilakukan. Dalam masyarakat yang makin kritis dan bermartabat, kritik sebetulnya adalah sebuah kebutuhan untuk mengembangkan mekanisme kontrol sosial yang dibutuhkan menuju ke arah yang lebih baik. 

Kontradiksi, perbedaan pendapat, dan kemudian disalurkan dalam bentuk kritik adalah energi bagi perubahan. Tidak ada masyarakat yang dapat maju berkembang ke arah yang lebih baik jika alergi kritik.

Bagi elite politik yang telah dewasa dalam bersikap dan memiliki moralitas yang baik, mereka niscaya tidak akan alergi kritik. Bagi para pemimpin, kritik sesungguhnya adalah asupan yang dibutuhkan untuk melakukan evaluasi diri. 

Dengan bersedia menerima kritik sebagai masukan positif, mereka akan dapat melihat berbagai kekurangan yang masih terjadi untuk kemudian diperbaiki. Tidak mungkin seorang pemimpin mampu melihat kekurangan dirinya jika tidak bersedia menerima kritik.

Bagi elite politik yang alergi kritik, setiap kritik yang terlontar biasanya dicurigai ada motif jahat di baliknya. Di negara yang dipimpin seseorang yang bersikap represif dan otoriter, biasanya mereka akan menjawab kritik yang muncul dari masyarakat sebagai serangan yang berbahaya. 

Jadi, sudah lazim terjadi sebuah negara yang alergi kritik, mereka akan berusaha membungkam kritik dengan ancaman, sanksi, dan berbagai tindakan punitif lainnya. Menghukum lawan yang melontarkan kritik, memasukkan mereka ke penjara, atau memproses pelontar kritik ke jalur hukum adalah taktik yang lazim dilakukan pemimpin yang alergi kritik. 

Membungkam kritik adalah jalan pintas untuk mempertahankan kekuasaan. Ketika masyarakat masih belum berdaya, membungkam kritik memang menjadi cara yang efektif untuk menjinakkan resistansi masyarakat. 

Namun, perlu disadari bahwa saat ini zaman sudah berubah. Ketika masyarakat makin kritis, tidak mungkin kritik dapat dibungkam dan dibekukan. Keberadaan kritik adalah sebuah keniscayaan yang dibutuhkan untuk membangun Indonesia ke arah yang lebih baik. 

Tanpa ada kesediaan untuk membuka diri menerima kritik, jangan harap Indonesia sebagai sebuah bangsa akan dapat maju bersaing dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Bagaimana pendapat Anda? (*)

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: