Pengukuhan Guru Besar Universitas Airlangga: Kritik di Tahun Politik
Ilustrasi kritik di tahun poltik.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-
Dalam sambutannya, Rektor Universitas Airlangga Prof Muhammad Nasih mengungkapkan, manusia dan hewan berbeda karena ada daya kritis yang dimiliki manusia. Manusia yang bermartabat memiliki kemampuan melontarkan kritik yang beretika.
Kritik yang membabi buta jelas harus dihindari karena tidak akan menyelesaikan masalah, tetapi justru malah melahirkan masalah baru yang makin memperumit upaya pemecahannya.
BACA JUGA:Anggaran IKN dan Subsidi Dikritik, Pembahasan RUU APBN 2024 Lanjut Minggu Depan
BACA JUGA:Megawati Bela Jokowi Soal Kritik Anies Baswedan
Sebagai bentuk tindakan linguistik, menurut Edy, kritik biasanya diwujudkan dalam bentuk kata-kata yang merupakan evaluasi dan sikap negatif terhadap perbuatan, perilaku, kebijakan orang atau pihak tertentu dengan harapan mereka bersedia mawas diri, introspeksi, dan melakukan koreksi diri.
Berbeda dengan saran, di dalam kritik selalu ada muatan koreksi. Sebab, ada hal yang dirasa tidak benar atau tidak sesuai dengan harapan.
Kritik berfungsi sebagai wahana kontrol sosial. Yakni, bertujuan mencegah perilaku menyimpang dan perilaku yang tidak sesuai dengan norma dan nilai yang berlaku. Kritik sendiri adalah bagian dari bentuk kontrol sosial yang bersifat persuasif.
BACA JUGA:Polda Jatim Kerja Sama dengan FKG Unair dan PT PLN (Persero)
BACA JUGA:Khofifah dapat Gelar Doktor Honoris Causa dari Unair
Kontrol sosial bisa berupa tindakan koersif, tetapi bisa pula berupa tindakan persuasif. Kritik bukanlah tindakan linguistik yang dapat dikategorikan sebagai kekerasan verbal.
Kritik sebetulnya tidak atau bukan dimaksudkan untuk menghina, mencela, atau sekadar memaki pihak-pihak yang dinilai keliru. Kritik dilontarkan untuk tujuan memperbaiki dan bersifat membangun. Jadi, kritik sesungguhnya hal yang konstruktif.
Cuma, dalam praktiknya, tidak sekali dua kali kritik dalam suasana politik yang liar kemudian rawan tergelincir menjadi tindakan linguistik yang kasar. Sebab, kritik dilakukan dengan penuh kemarahan sehingga lebih tepat disebut hate speech (ujaran kebencian).
Menjelang tahun politik, kita bisa melihat bahwa media sosial menjadi habitus yang subur bagi kemunculan kritik yang kasar, menohok langsung ke muka lawannya, dan jauh dari etika.
Ketika masyarakat terpolarisasi menjadi dua pihak yang berkontestasi, bahkan terlibat dalam konflik yang berupa oposisi biner, sering yang terjadi adalah pertarungan yang saling mematikan. Kritik dilontarkan bukan untuk tujuan memperbaiki keadaan.
Berbeda dengan apa yang dikatakan filsuf idealis Hegel, bahwa tesis dan antitesis yang memunculkan sintesis, dalam dunia politik yang keras, antitesis dianggap sebagai ancaman dan akan berbalas antitesis yang menohok lawan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: