Rumah Lengger, Upaya Rianto Menjaga Api Lengger Lanang, Tari Tradisi Banyumas, Tetap Hidup

Rumah Lengger, Upaya Rianto Menjaga Api Lengger Lanang, Tari Tradisi Banyumas, Tetap Hidup

Lengger lanang, tari tradisi Banyumas yang masih lestari. Tampak gemulainya Rianto saat tampil di Kendalisada Art Festival di Desa Kaliori, Kecamatan Kalibagor, Banyumas, pada 19 September 2023. -AFP-

HARIAN DISWAY - Gerak gemulai penari lengger ternama Rianto memukau para penonton di Taman Fatahillah Kota Tua Jakarta. Ia tampil dalam Gelar Kesenian Rakyat yang digelar Badan Penghubung Provinsi Jawa Tengah bertepatan HUT ke-78 Provinsi Jawa Tengah.

Dalam acara yang berlangsung pada Sabtu, 19 Agustus 2023 itu, ditampilkan calung dan lengger Banyumasan persembahan Rumah Lengger yang didirikan Rianto.

Saat itu, lengger dipertontonkannya kembali kepada publik. Tarian rakyat yang hampir habis ditelan zaman. Rianto pun tampil dengan riasan nyentrik. Rias wajahnya seperti putri keraton. Selendang jingga tersemat, menjuntai di tubuhnya. 

Dengan kemben ketat berwarna-warni, hiasan rambut bersanggul. Lengger biasanya memang ditarikan oleh lelaki yang disebut lengger lanang. Meski seorang pria, Rianto bisa bergerak dengan lembut layaknya wanita. Gemulai.

BACA JUGA: Buka Sawung Dance Festival, Seniman Hari Ghulur Maknai Tahlil lewat Tarian Berjudul Silo

Menurut Rianto, meskipun masih eksis, posisi tarian yang populer sejak abad ke-16 itu kini berada dalam pusaran paradigma kolot seputar maskulinitas. Di tengah masyarakat yang konservatif dan religius. Bahkan hingga sekarang.
Lengger lanang, tari tradisi Banyumas yang masih lestari. Apri Triantoro (kiri) sedang dirias oleh Rianto sebelum tampil di Taman Fatahillah Kota Tua Jakarta, pada 19 Agustus 2023. -AFP-

BACA JUGA: ASEAN Panji Festival, Kisah Panji Lestari di Asia Tenggara

Karena itu bersama Rumah Lengger, Rianto tetap bertekad menari dan melestarikan tarian itu. Meskipun kerap dipandang sebelah mata. "Lengger masih dianggap rendah dan mendapat stigma negatif dari masyarakat," ungkap koreografer itu.

Masyarakat beranggapan bahwa penari pria yang berperan sebagai wanita dianggap menyalahi norma. "Padahal lengger lanang sebenarnya bermaksud untuk membangun kesetaraan. Bahwa dalam diri manusia terdapat sisi maskulin dan feminin," ungkap pria 42 tahun itu.

“Ketika maskulinitas dan femininitas berhasil disatukan dalam satu tubuh dengan penuh kesadaran maka akan tercipta kedamaian dalam diri sendiri,” tambah pria yang beristri perempuan Jepang itu.

Sebagai tarian tradisi turun-temurun sejak abad ke-16, lengger sebenarnya kerap dipentaskan dalam acara sedekah bumi.

Bahkan pada masa lalu, lengger pernah menjadi kesenian rakyat yang sangat dihormati. Para penarinya menjadi idola masyarakat. Penari yang mampu memerankan pria dan wanita dengan sama baiknya.

BACA JUGA: Tarian Barong Bali, Awalnya untuk Kebutuhan Upacara di Pura, Kini Sudah Bisa Dinikmati Masyarakat Luas

Namun, semua hal itu luntur karena munculnya norma-norma atau nilai-nilai baru dalam masyarakat. Termasuk menguatnya konservatisme agama. Sehingga tanpa pandang bulu, tanpa kajian dan analisa mendalam, lengger lanang dituduh menyalahi kodrat.

Itu juga dapat dilihat dari film yang mengisahkan Rianto sebagai penari Lengger. Film tentangnya yang berjudul Kucumbu Tumbuh Indahku yang disutradarai Garin Nugroho itu sempat di-banned di beberapa kota di Indonesia. Karena dituduh mempromosikan homoseksualitas.

Hanya di Kota Banyumas, lengger bisa dipentaskan secara terbuka. Tak mengherankan karena salah satu kabupaten di Jawa Tengah itu merupakan tanah kelahiran tarian lengger lanang.
Lengger lanang, tari tradisi Banyumas yang masih lestari itu ditarikan Rianto dalam Kendalisada Art Festival di Desa Kaliori, Kecamatan Kalibagor, Banyumas, pada 19 September 2023 lalu. -AFP-


Pergelarannya pun masih bersifat sakral. Menjadi pertunjukan rutin tahunan setiap September. Dipentaskan dalam Kendalisada Art Festival seperti yang digelar di Desa Kaliori, Kecamatan Kalibagor, Banyumas, pada 19 September 2023 lalu.

BACA JUGA: ASEAN Panji Festival 2023, Menginterpretasi Kisah Panji yang Lestari di 9 Negara Asia Tenggara

Ditegaskan Lynda Susana Ayu Fatmawati, dosen Ilmu Budaya Universitas Jenderal Soedirman, lengger adalah ritual sedekah bumi. Dalam perkembangannya, lengger diadaptasi sebagai hiburan untuk menyambut tamu agung atau para pembesar.

"Karena profan atau sakral, para penari lengger lanang bahkan harus menjalankan beberapa ritual pembersihan seperti puasa, mandi di mata air, dan melakukan meditasi," ujarnya.

Seperti menyalakan dupa sebelum melakukan pertunjukan. Kemudian meletakkan kelopak bunga dan kelapa sebagai wujud persembahan kepada Tuhan.

Sayang para penari lengger lanang saat ini harus merasa gelisah. Sebab persepsi buruk itu masih terus melekat. Bahkan Torra Buana, seorang penari lengger lanang, harus merahasiakan dirinya sebagai penari lengger lanang.

“Saya pernah menyembunyikannya dari keluarga saya. Karena beberapa orang masih melihatnya sebagai hal buruk,” terang penari 47 tahun itu.

BACA JUGA: Topi Bunga Warnai Festival Tari Musim Panas Tradisional di Prefektur Yamagata

Padahal menjadi penari lengger tak sembarang bisa dilakukan orang. Alias hanya orang-orang tertentu dan terpilih yang bisa. Beruntung tidak semua orang Indonesia menganggap buruk tradisi itu.

Seperti salah seorang penonton pertunjukan lengger Banyumasan di Jakarta, Hendro Utomo, yang memberi apresiasi. "Ini salah satu bentuk seni. Tiap seni dan warisan budaya harus dipertahankan," ujarnya.
Lengger, tari tradisi Banyumas yang masih lestari. Tampak Rianto sebagai lengger lanang sebelum tampil di Taman Fatahillah Kota Tua, Jakarta pada 19 Agustus 2023. -AFP-


Untuk melestarikannya, Rianto menyilakan Rumah Lengger yang didirikannya itu menjadi wadah bagi para penari muda untuk berlatih dan mempelajari filosofi di balik tarian tersebut.

Di antara anak muda itu, ada Ayi Nur Ringgo. Mahasiswa itu langsung jatuh cinta dengan tarian lengger lanang ketika pertama kali menonton video pertunjukan tersebut di kampusnya.

BACA JUGA: ”Zero” oleh Teater Kaki Langit di Gedung Sawunggaling UNESA; Melawan Perusak Lingkungan

Semenjak sering berlatih di Rumah Lengger, Ayi harus menerima konsekuensinya. Di antaranya meladeni komentar-komentar miring dari banyak orang. Namun, ia tak ambil pusing. “Saya sudah berdamai dengan diri saya. Saya tidak peduli lagi,” ujarnya. 

Tekad Rianto, dengan Rumah Lengger itulah ia kini terus berusaha menjaga api tradisi lengger lanang agar tetap hidup. (Salsa Amalia-Salsa Amalika)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: