Menyelami Godaan Abadi Manusia: Harta, Tahta, Asmara
Keinginan menguasai harta benda berkelindan dalam hasrat manusiawi lainnya yakni berkuasa (will to power). Kedua hasrat duniawi ini menjadi naluri purba manusia yang selalu berjalan beriringan. --
Bukankah dalam kisah-kisah masyur selalu diberikan contoh seseorang atau suatu kaum yang akhirnya mengalami kehancuran karena hidupnya selalu sibuk berorientasi pada kenikmatan duniawiah tersebut.
Sebut saja kisah Qorun. Seorang yang sangat kaya dan congkak pada zaman Nabi Musa. Kesombongan Qorun yang selalu memamerkan harta kekayaan tanpa punya kemauan berbagi kepada orang lain.
Akibat dari kesombongannya, nasib Qorun berakhir tragis. Azab Alloh SWT menenggelamkannya ke perut bumi berikut harta bendanya.
Tragedi Qonun menjadi kisah masyur dan diabadikan dalam Surat Al Qassas ayat 76-78. Kisah abadi agar setiap manusia dapat mengambil hikmahnya. Setiap dekade selalu hadir Qorun-Qorun baru.
Karenanya, agar manusia tidak bernasib tragis sebagaimana Qonun, selayaknya kembali pada ajaran luhur keagamaan, sekaligus meneladani keluhuran budi dalam tradisi yang selama ini diwariskan oleh pendahulu kita.
BACA JUGA: Mendokumentasikan Sejarah Perjuangan Bassra: Ulama Eksis Mengawal Pembangunan Madura
Kisah tragis Qonun harus menjadi pengingat sepanjang hayat bahwa ketamakan terhadap harta benda tidaklah memuliakan hidup, justru berpotensi mereduksi kehidupan pada titik kehinaan.
Kesuksesan Imajiner
Kisah seseorang memamerkan harta kekayaannya bukanlah hal baru. Selalu saja ada rentetan peristiwa yang berulang. Artinya, fenomena orang kaya yang flexing akan selalu ada dalam sejarah umat manusia. Peristiwanya sama, hanya subjeknya berganti.
Terlepas dari hal tersebut, yang menarik sesungguhnya adalah mengapa kita mudah sekali terjebak pada godaan-godaan duniawi tersebut?
Apakah memang ada pergeseran orientasi hidup, dari yang bersifat spiritual menuju ke hal-hal yang sifatnya material sebagai ukurannya?
Tampaknya realitas ini yang cukup mengemuka. Meski orientasi material itu merupakan naluri abadi manusia, tapi nilai luhur keagamaan dan tradisi kita sering memberikan pedoman bagaimana kita mengelola kenikmatan duniawi itu.
Hal ini agar kita tidak terjerumus pada hasrat yang berlebihan; yang justru menjatuhkan harkat dan martabat kemanusiaan.
Dalam tradisi Platonik (Wibowo, 2010: 13) keinginan kuat atas penguasaan material telah banyak menjebak manusia pada apa yang disebutnya sebagai kesuksesan imajiner.
Yakni ketika makna kesuksesan -terutama orang-orang yang berkuasa- lebih dipahami sebagai kepemilikan terhadap money, fame, power and status.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: