Mewirausahakan Generasi Z Berbasis Pembelajaran

Mewirausahakan Generasi Z Berbasis Pembelajaran

Ilustrasi generasi Z. -Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-

Bukan sekadar jumlah, secara kualitatif, generasi Z memiliki karakter yang dapat dibidik menjadi calon wirausahawan tangguh. Generasi Z dapat digolongkan sebagai warga sejati era digital. 

Sejak kelahirannya hingga menginjak usia muda, generasi Z terkoneksi internet, jaringan sosial, sistem komunikasi berbasis seluler, serta teknologi digital yang dapat diutilisasi lebih produktif dalam upaya mencetak sebagai calon wirausahawan. 

Penggunaan teknologi digital dalam mempersiapkan generasi Z menjadi wirausahawan memicu adopsi pendekatan baru dalam pendidikan, yakni paradigma pembelajaran interkoneksi (interconnected learning). Pengetahuan dan keterampilan dapat diperoleh melalui sejumlah aktivitas yang terkoneksi dengan saluran internet. 

 

Pembelajaran Interkoneksi

Pada 2018, UNESCO menyelenggarakan global education meeting untuk membahas pendidikan dalam dunia yang saling terhubung (education in an interconnected world). Simpulan ajang pertemuan para pendidik dunia tersebut adalah memastikan pendidikan inklusif dan setara (inclusive and equitable). Pendidikan harus dapat diakses semua kalangan.

Tak dapat disangkal bahwa bidang pendidikan terkait erat dengan pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs) hingga tahun 2030. Pendidikan diharapkan memberdayakan masyarakat sesuai prinsip inklusivitas dan kesetaraan. 

Pendidikan berbasis teknologi melalui pendekatan interkoneksi sebagai proses belajar integratif memiliki tujuan berbeda dengan pendekatan pembelajaran tradisional. Salah satu tujuan pembelajaran interkoneksi adalah memupuk kemampuan siswa dalam memahami materi belajar secara optimal untuk kemudian diterapkan dalam kehidupan nyata. 

Selain itu, pembelajaran interkoneksi bertujuan mengubah proses belajar-mengajar secara drastis. Para siswa dipacu lebih aktif dalam belajar serta bertanggung jawab terhadap hasil belajar yang dicapai. Hasil belajar bersifat multidimensional, yakni penguasaan ilmu secara kognitif, dan kemudian menerapkannya dalam dunia nyata secara afektif dan psikomotorik. 

Kurikulum pendidikan dan proses belajar sengaja dirancang agar siswa tidak pasif dengan dominasi peran guru. Dalam pendekatan interkoneksi, diatur pula interaksi antara siswa dan lingkungan, baik lingkungan sekolah maupun sosial. Proses pembelajaran mengandalkan teknologi internet. 

Platform merdeka belajar yang saat ini diusung Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek), misalnya, relevan dengan upaya memberi pengalaman bagi mahasiswa di dunia nyata. Mahasiswa memiliki kesempatan belajar di luar kelas sehingga mendapat pengalaman praktis serta wawasan lebih luas.

Proses pembelajaran berbasis pengalaman tersebut populer dengan sebutan experiential learning (EL). EL esensial untuk menciptakan proses pendidikan dengan preferensi khusus, misalnya, dalam upaya membangun mental kewirausahaan melalui pengalaman praktis selama masa belajar.

 

Pembelajaran Berbasis Pengalaman (EL)

David Allen Kolb (1984), ahli pembelajaran dari Amerika Serikat (AS), merumuskan makna EL sebagai proses penciptaan pengetahuan melalui pengalaman yang tak sekadar mengubah kognisi, tetapi juga afeksi dan psikomotorik. Pengetahuan dan keterampilan diperoleh melalui kombinasi pemahaman kognitif, kemudian mentransformasikan pengalaman ke dalam kehidupan nyata.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: