Indeks Pembangunan Manusia

Indeks Pembangunan Manusia

Ilustrasi indeks pembangunan manusia. -Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-

BACA JUGA: Magnet Pegawai Negeri Sipil

Bagi Indonesia, IPM merupakan data strategis karena selain sebagai ukuran kinerja pemerintah, IPM juga dapat digunakan sebagai salah satu alokator penentuan dana alokasi umum (DAU). 

Paling tidak, ada tiga indikator dalam mengukur IPM: kesehatan, pendidikan, dan ekonomi. Indikator kesehatan manusia diukur melalui usia hidup.  Proksi yang sering digunakan ialah angka harapan hidup waktu lahir (life expectancy at birth). Pada indikator pendidikan, pengetahuan (knowledge) dianggap sebagai unsur mendasar dari pembangunan manusia. Pengukurnya adalah angka melek huruf dan rata-rata lama sekolah.  

Pada bidang ekonomi, yang digunakan adalah standar hidup layak (decent living). Berdasar ketersediaan data secara internasional, UNDP memutuskan standar hidup layak diukur melalui gross domestic product (GDP) per kapita riil yang telah disesuaikan (adjusted real GDP per capita). 

BACA JUGA: Dilema Kebijakan Pemda Jelang Tahun Politik

BACA JUGA: Indonesia Darurat Judi Online

Pada dimensi umur panjang dan hidup sehat, bayi lahir tahun 2023 memiliki harapan hidup 74,87 tahun. Meningkat 0,30 poin jika dibandingkan dengan bayi lahir tahun 2022. Harapan lama sekolah penduduk umur 7 tahun naik dari 13,37 menjadi 13,38.

Rata-rata lama sekolah (RLS) penduduk usia 25 tahun adalah 8,11. Naik signifikan, 0,08 poin daripada 2022. Pada indikator ekonomi, digunakan ukuran standar hidup layak yang diproksikan dengan rata-rata pengeluaran riil per kapita per tahun. 

Meski tidak mengukur secara langsung kesejahteraan, IPM terkait erat dengan kesejahteraan dan kemiskinan. Lihat saja Sampang yang IPM-nya paling rendah ternyata juga menjadi kabupaten dengan tingkat kemiskinan tertinggi di Jatim.

Kenaikan IPM Jatim itu, misalnya, juga terkait dengan penurunan kemiskinan ekstrem. Dari 4,4 persen ke 0,82 pada Maret 2023. Di banyak studi, IPM itu juga sangat terkait dengan pertumbuhan ekonomi dan tingkat pengangguran. 

 

Belum Lengkap

Dengan indikator-indikator itu, tampak IPM bisa mewakili pengukuran kesejahteraan. Sayang, kesejahteraan yang diukur itu hanya dari satu perspektif: duniawi. Bagi kita umat beragama Islam, tentu sejahtera tidak hanya duniawi, tapi juga ukhrawi. Jadi, sejahtera dalam Islam tidak hanya  terepresentasikan dalam tiga indikator IPM: pendidikan, kesehatan, dan ekonomi.  

Manusia sejahtera dalam Islam setidaknya adalah yang terpenuhi lima kebutuhan dasar (adh-dharuriyat)-nya. Terlindunginya kebutuhan agama, jiwa, akal, kehormatan/keturunan, dan harta. Ukuran IPM hanya mengukur tiga saja: pendidikan (akal), kesehatan (jiwa dan keturunan), dan ekonomi (harta). Kebutuhan sangat penting, agama dan kehormatan, belum terepresentasikan. 

Karena itu, untuk ukuran kesejahteraan bagi bangsa Indonesia yang merupakan umat beragama, harus ada tambahan. Plus indikator agama. Pemerintah perlu menyiapkan instrumen untuk mengukur terpenuhinya masyarakat akan kebutuhan agama itu. Misalnya, kemudahan menjalankan kewajiban-kewajiban agama yang perlu dicarikan proksi mengukurnya. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: