Sumur dan matahari (6): Temukan Kedamaian di Rutan Cipinang

Sumur dan matahari (6): Temukan Kedamaian di Rutan Cipinang

Sudah lama saya ingin membuat buku yang solid tentang kajian spiritual. Kendalanya adalah saya tidak memiliki basik yang memadahi dan merasa khawatir dianggap kurang kompeten. Saya hampir sama sekali tidak memiliki pendidikan formal agama Islam. Sekolah Dasar saya di Taman Siswa yang Nasionalis, sedang SMP dan SMA saya tempuh di Sekolah Kristen. Kemudian melanjutkan ke Jurusan Teknik Kimia UGM. 

Namun sejak kecil minat saya pada pemikiran agamis/spiritual sangatlah besar. Jadi, izinkanlah saya menulis tentang agama dari kajian saya yang asli dengan bekal pengetahuan otodidak yang terbatas.

Sebuah hadis mengatakan “sampaikanlah walaupun hanya satu ayat”. Hadis lain mengatakan bila kita melakukan ijtihad atau kajian tentang suatu masalah dengan niat mencari kebenaran, apabila ijtihad kita benar akan mendapat dua pahala yaitu pahala ijtihad dan pahala dari kebenaran itu sendiri. 

Sedang apabila ijtihad kita itu ternyata keliru maka kita tetap mendapat satu pahala karena ijtihad itu sendiri yang merupakan upaya yang baik. 

Kedua hadis ini menurut saya adalah pondasi yang baik bagi perkembangan pemikiran dalam Islam. Allah memberi akal pada setiap manusia untuk berpikir secara benar dan memperoleh hidayahNya, kemudian kitapun dianjurkan untuk menyampaikan hidayah atau pemahaman yang maknanya sama dengan sebuah ayat tersebut kepada orang lain. 

Sebagian orang berpendapat bahwa ijtihad itu hanya berlaku bagi alim ulama yang memahami ilmu agama, sedang bagi masyarakat awam hanya tinggal follow saja. 

Saya tidak setuju dengan pembatasan itu. Selain karena tidak ada dasarnya juga akan mematikan akal manusia untuk berpikir. Menurut saya, legitimasi kebenaran yang diserahkan pada suatu kelompok apapun namanya akan memunculkan absolutisme yang berbahaya. 

Itulah sebabnya saya bersimpati pada sosok seperti Irshad Manji yang kontroversial. Karena menyuarakan demokrasi berpikir.

Alhamdulillah selama 11 bulan mendekam di rutan, saya berhasil menyelesaikan satu buku yang saya beri judul “Tuhan Yang Saya Kenal”. 

Inti dari buku adalah pandangan saya bahwa ajaran Islam itu pada dasarnya bersifat inklusif. Saya melihat ada kecenderungan di kalangan pemuka agama Islam untuk mengaburkan nilai nilai Islam yang inklusif ini dan membatasinya hanya pada masalah toleransi belaka. Padahal banyak sekali ayat dalam Alquran dan contoh dari Nabi yang berlandaskan pada prinsip yang inklusif ini. Langkah politik Nabi Muhammad yang menerapkan Piagam Madina adalah monumen sejarah yang mencerminkan inklusivitas Islam. 

Ketika serombongan umat Kristiani mendatangi Nabi dengan maksud damai dan menanyakan tempat bagi mereka untuk beribadah (karena kebetulan hari Ahad), Nabi mempersilahkan rombongan tersebut untuk menggunakan Mesjid karena Gereja belum tersedia di Mekkah. 

Nabi lalu menyerukan pada umat Islam bahwa Masjid boleh dipergunakan untuk ibadah agama lain asal tidak berkelanjutan. Dapatkah hal yang sama dijalankan oleh umat Islam masa kini?

Ajaran yang menghalalkan seorang muslim menikahi wanita ahli kitab adalah bukti lain inklusivitas agama Islam. Menurut saya, ajaran ini sangat jelas dan tegas sehingga tidak memerlukan interpretasi lagi. Namun sebagian besar ulama menegasinya. Di Indonesia penolakan ini bahkan memasuki hukum negara yang sekuler dengan UU.

Ini memang bisa menjadi diskusi yang tajam dan seru akan tetapi menurut saya, sepanjang semua pihak bersikap terbuka dan dengan niat yang tulus diskursus ini positif aja. Nabi pernah bersabda perbedaan pendapat di antara umatku adalah rahmat. (bersambung)

Jatuh Cinta itu Tak Lebih Indah Dari Masuk Penjara. Ikuti edisi besok.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: