Sumur dan Matahari (8): Romantika di PN Jakarta Pusat
Di Pengadilan Negeri Jakpus kami bisa saling melepas rindu-Dokumen Pribadi-
Hal yang berbeda dengan kasus Jiwasraya yang rugi triliunan rupiah karena tidak ada back up REPO. Logika ini nampaknya juga diyakini Hakim. Ketika saksi ahli dari OJK menyatakan terjadi pelanggaran karena REPO saham itu dilarang, Hakim mempertanyakan dasar hukumnya. Akhirnya saksi mengakui bahwa hal itu adalah pendapat pribadinya.
Ketika saksi dari auditor OJK dihadirkan, saya mengajukan pertanyaan, apabila menyebab terbesar kerugian Dapen tahun 2016 adalah turunnya harga beberapa saham yang diinvestiasikan, berarti kerugian terbesar yang tercatat adalah kerugian unrealized?”
BACA JUGA:Sumur dan Matahari (1): Malam Terakhir di Rutan Cipinang
Saksi membenarkannya. Namun setelah saya perlihatkan Laporan Keuangan Dapen PKT tahun 2016 yang menunjukkan bahwa kerugian terbesar adalah kerugian realized, yaitu sebesar Rp 124 M, sementara kerugian unrealized hanya Rp 16 M, saksi terheran heran sendiri.
Ini membuktikan audit yang dilakukan OJK tidaklah correct atau tidak difahami secara komprehensif. Auditor OJK tidak mampu melihat big picture dari performa Dapen PKT. Mereka hanya fokus dan puas telah menemukan kesalahan administratif yaitu pelanggaran aturan REPO yang juga debatable.
Di sisi lain saya merasa saksi yang diajukan para terdakwa sungguh gagah perkasa. Terutama ahli pidana yang dengan tegas menyatakan dakwaan pidana harus ada bukti niat jahat. Kalau terjadi pelanggaran haruslah pelanggaran yang dikategorikan pidana berdasarkan undang undang.
Pelanggaran administratif tidak bisa dipidanakan melainkan diselesaikan secara administratif oleh OJK. Saksi ahli dari ADPI menguatkan opini bahwa turunnya harga saham belum bisa disebut kerugian permanen karena masih ada potensi untuk rebound. Itulah sebabnya kerugian ini berdasarkan PSAK dibukukan secara tersendiri, yaitu kerugian unrealized.
Bersamaan dengan sidang perkara kami di PN Jakarta Pusat yang khusus menyidangkan kasus korupsi, disidangkan pula perkara PT PANN. Para terdakwa adalah teman-teman saya sejak di Rutan Kejagung. Kasusnya beberapa minggu lebih dahulu disidangkan dari kasus kami sehingga menjadi semacam barometer. Ketika tuntutan atas kasus PT PANN dibacakan, kami semua terkesiap dengan tingginya tuntutan jaksa atas para terdakwa. Salah satu terdakwa dituntut hukuman 13 tahun penjara. Padahal, sebagaimana kasus saya, tidak ada bukti aliran dana atas kasus tersebut.
Beberapa hari setelah itu tuntutan dibacakan dan semua terkesiap dengan tingginya tuntutan saya. Yaitu hukuman 8 tahun penjara. Istri saya kaget. Aneh bin ajaib saya sama sekali tidak shock dengan tingginya tuntutan tersebut.
Mungkin karena tuntutan itu lebih rendah dari teman di PT PANN. Atau mungkin juga karena saya merasa kehidupan ke rutan tidak seburuk yang saya bayangkan. Saya sudah punya agenda yang positif bila hal terburuk itu terjadi.
Apalagi kalau bukan menulis buku, sudah ada beberapa judul buku yang akan saya tulis di kepala saya. Saya juga meyakini bahwa semua ini sudah tertulis dalam Lauh mahfuz. Saya yakin Allah lah yang menenangkan hati saya.
Usai tuntutan giliran kami menyusun dan membacakan pledoi. Tentu kesempatan ini tidak saya sia-siakan. Di samping pengacara menyusun dan membacakan pledoi, terdakwa juga mendapat kesempatan membacakan pledoi dengan bahasa umum.
Duplik saya berjudul “Menjadi terdakwa karena gagal paham” yang antara lain mengkritisi dakwaan Jaksa yang salah karena tidak paham prosedur Initial Public Offering (IPO).
Kami didakwa telah melanggar peraturan OJK yang mengatakan bahwa pembelian saham hanya diperbolehkan pada emiten yang terdaftar di Bursa Effek Indonesia.
Padahal prosedur untuk IPO memang demikian. Pembayaran pembelian saham melalui IPO dilakukan sebelum emiten listing karena harus melalui proses penjatahan dan lain-lain. Sedang yang dimaksud aturan tersebut adalah larangan untuk membeli saham di luar Negeri.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: