Hati-hati dengan Janji Politik

Hati-hati dengan Janji Politik

Saat musim kampanye begini banyak janji-janji politik dalam kampanye pemilihan presiden yang tidak bermakna apa-apa, kecuali dengan janji-janji itu efektif merebut dan mempertahankan kekuasaan. Hal ini seperti dalam mazhab realisme politik. --

HARIAN DISWAY – Dalam sebulan terakhir ini, berbagai media baik elektronik maupun surat kabar  tidak pernah absen memberitakan gegap gempita kampanye pemilihan presiden yang akan berlangsung pada 14 Februauri 2024 nanti.  

Namun demikian, tetap menggelikan membaca dan melihat foto para capres atau cawapres yang tiba-tiba SKSD (sok akrab dan sok dekat) dengan rakyat, pesantren, sampai kelompok-kelompok marginal. Bahkan dengan rakyat di pelosok-pelosok yang mungkin sebelum mencalonkan diri, sang kandidat tidak tahu di mana lokasi tersebut berada. 

Selain itu, berita koran akhir-akhir ini membuat kita semakin ingin tertawa. Betapa tidak, masing-masing kandidat menyampaikan janji yang sulit dijangkau oleh nalar. Satu kandidat misalnya berjanji, jika mereka terpilih maka seluruh pelajar akan mendapatkan makan siang dan minum susu gratis.

BACA JUGA: Prabowo-Gibran Janji Lanjutkan Food Estate Jokowi

Saya sangat sulit membayangkan hal ini bisa terwujud. Selain karena persoalan anggaran negara yang akan disedot pasti sangat besar, program tersebut secara teknis sangat ribet. Pasangan lain menebar janji dengan akan menaikkan gaji guru sebesar Rp. 30 juta per bulan jika terpilih sebagai presiden dan wakil presiden.

Janji ini seperti memberi angin surga bagi para tenaga pendidik. Ada juga kandidat yang berjanji bakal mengucurkan dana desa hingga Rp. 5 miliar per desa. Lantas apakah jika seorang kandidat terpilih sebegai presiden dan wakil presiden, janji tersebut perlu ditagih? 

BACA JUGA: Mendes Sebut Dana Desa Bisa Naik Hingga Rp. 5 Miliar Tahun Depan

Menurut Affan Ramli, sebagian besar pemilih menilai janji-janji politik memang tidak untuk dilaksanakan, sehingga tidak perlu ditagih. Janji politik hanya perlu didesain menarik untuk diperbincangkan saja. 

Dalam menyikapi berbagai persoalan politik ini, pemikir filsafat politik terbelah kedalam dua pandangan. Pertama, memandang politik memiliki tujuan-tujuan moral, seperti keadilan, kesetaraan, dan kesejahteraan. 

Oleh karena itu,  janji-janji politik harus diarahkan mencapai tujuan-tujuan itu dan harus dilaksanakan setelah kandidat memenangkan Pemilu. Pandangan ini saya sebut sebagai mazhab moralisme politik. Mazhab ini diwakili banyak pemikir, sejak Plato, Karl Max, hingga Habermas. 

Kedua, melihat politik sebagai bagian dari proses alamiah biasa tanpa perlu tujuan moral apapun. Satu-satunya tujuan politik adalah untuk merebut, menata, mengelola, dan mempertahankan kekuasaan. 

BACA JUGA: Sejarah dan Konflik Surat Ijo Surabaya: Beban Janji Politik Pilwali 2015 (20)

Dalam pandangan ini, janji-janji politik tidak bermakna apa-apa, kecuali dengan janji-janji itu efektif merebut dan mempertahankan kekuasaan. Hal ini disebut dengan mazhab realisme politik. 

Dalam mazhab ini, janji-janji politik jikapun akhirnya harus dilaksanakan, tidaklah dalam rangka alasan-alasan moral, tetapi karena dipandang berguna dalam mempertahankan kekuasaan. Pandangan kedua ini diwakili beberapa filsuf politik seperti Xenophon di era Yunani Kuno, Machiavelli, hingga Jacques Rancière. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: