Hati-hati dengan Janji Politik

Hati-hati dengan Janji Politik

Saat musim kampanye begini banyak janji-janji politik dalam kampanye pemilihan presiden yang tidak bermakna apa-apa, kecuali dengan janji-janji itu efektif merebut dan mempertahankan kekuasaan. Hal ini seperti dalam mazhab realisme politik. --

Visi, Misi dan Janji Politik

Persoalannya kemudian adalah nyaris tidak bisa dibedakan antara visi, misi, dan janji manis politik. Secara sederhana dapat dirumuskan bahwa visi dan misi berangkat dari evaluasi diri (dalam hal ini evaluasi program kerja dan kinerja pemimpin sebelumnya dalam membangunan Indonesia) dan potensi apa yang sangat perlu dikembangkan ke depan demi kesejahteraan rakyat. 

BACA JUGA:Debat Capres Ketiga: Anies Baswedan Bahas Hacker Hingga Food Estate di Opening Statement

Oleh karena itu, visi dan misi memiliki indikator dan ukuran pencapaian yang jelas. Dengan kata lain, perumusan sebuah visi dan sejumlah misi didahului oleh sebuah studi yang mendalam dan komprehensif. 

Sebaliknya janji politik tidak lebih dari lip service yang tidak jelas indikator dan ukuran pencapaiannya dengan tujuan untuk mengumpulkan suara sebanyak-banyaknya. 

Pertanyaannya adalah apakah penebaran janji politik efektif untuk mendulang suara? Pengalaman berbagai pemilu sebelumnya menunjukkan tidak terlalu efektifnya cara ini untuk mendulang suara. 

BACA JUGA: Kampanye Desak Anies Kembali Dipindahkan Tanpa Alasan, Ketua TKD: Ditolak Pemda

Satu hal yang tidak disadari oleh para kandidat beserta tim suksesnya adalah dia berhadapan dengan masyarakat yang tidak lagi mudah tergoda dengan janji-janji manis para politikus. 

Dengan demikian, harapan untuk mendulang suara melalui serangkaian janji-janji politik yang tidak masuk akal dapat dipastikan tidak akan mempengaruhi pilihan rakyat, sebaliknya bisa jadi menjadi bumerang.

Pengerahan Massa

Selain menebar janji politik, pengerahan massa dalam kampanye masih menjadi trend. Sama dengan metode janji politik, cara ini juga bukan jaminan untuk mendulang suara yang banyak. 

Belajar dari pemilihan umum 1955 misalnya, kehadiran orang pada rapat massa bukanlah ukuran bagi kekuatan calon atau partai politik tertentu di sebuah daerah. Orang datang lebih banyak karena dorongan rasa ingin tahu, untuk ikut menikmati suasana keramaian, atau sekadar karena ada kawan-kawan sekampung di situ.

BACA JUGA: Desak Anies vs Gemoy, Desak Unggul di X, Gemoy Leading di TikTok dan Facebook

Gejala inilah yang dialami oleh Partai Sosialis pada pemilihan parlemen maupun konstituante pada tahun 1955 (Feith, 1999).  Untuk saat ini bahkan banyak orang yang datang ke alun-alun atau tempat-tempat kampanye lainnya hanya karena ingin mendapatkan kaos, uang saku, dan ikut dangdutan. 

Pelajaran yang sangat berharga sebenarnya dapat diperoleh dari satu dari sekian metode kampanye yang dilakukan oleh salah satu partai pada Pemilu 1955 baik di tingkat nasional maupun lokal dengan berhasil jauh melampaui partai-partai lain. Metode tersebut adalah kegiatan kesejahteraan sosial. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: