Walhi dan Greenpeace Luruskan Maksud Greenflation yang Ditanyakan Gibran kepada Mahfud MD di Debat Cawapres
MAHFUD MD tolak menjawab pernyataan Gibran setelah anak Presiden Jokowi mengomentari pertanyaan tentang greenflation.-tangkapan layar@kpu-
JAKARTA, HARIAN DISWAY – Calon Wakil Presiden (Cawapres) Nomor Urut 2, Gibran Rakabuming Raka, mengajukan pertanyaan tajam seputar konsep Green Inflation atau Greenflation kepada Calon Wakil Presiden Nomor Urut 3, Mahfud MD, pada Debat Keempat Pilpres 2024 yang diadakan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI di Jakarta Convention Center (JCC), Jakarta, Minggu, 21 Januari 2024.
Apa sebenarnya yang dimaksud dengan Green Inflation atau Inflasi Hijau?
Gibran Rakabuming Raka menyoroti isu itu dalam upaya untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik tentang kebijakan lingkungan yang mungkin diimplementasikan di masa mendatang.
Deputi Eksekutif Nasional (Eknas) Walhi, Muhammad Islah menyatakan, bahwa persoalan Inflasi Hijau yang ditanyakan Gibran kepada Mahfud adalah persoalan teknis yang tidak menyelesaikan persoalan dasar lingkungan hidup.
Ia menyoroti bahwa kebijakan seperti pajak karbon dan perdagangan karbon untuk mengurangi emisi karbon tidaklah cukup efektif.
Menurutnya, pembayaran pajak karbon bisa menjadi alasan bagi pihak industri untuk melepaskan emisi karbon tanpa tanggung jawab, yang pada akhirnya hanya memperburuk masalah lingkungan.
BACA JUGA:Mahfud Sebut Pertanyaan Gibran Terkait Greenflation Adalah Gimik dan Receh: Tidak Usah Dijawab
BACA JUGA:Apa Itu Greenflation, Fenomena yang Ditanyakan Gibran ke Mahfud Md Saat Debat Cawapres?
"Itu berbahaya, masalah lingkungan tidak selesai. Masalah prinsip adalah ketika pembangunan industri dan produk berjalan menghitung risiko lingkungan. Ketika berisiko pada lingkungan, terjadi pelepasan emisi karbon, maka harus dihentikan," ungkap Islah.
Pendapat serupa diungkapkan oleh Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia, Adila. Menurut Adila, inflasi hijau adalah kebijakan lingkungan yang berdampak pada kehidupan masyarakat dan seharusnya dihindari.
Ia menekankan perlunya akuntabilitas dan transparansi dalam proses kebijakan lingkungan, di mana perusahaan atau produsen yang menanggung biaya dari kebijakan yang diambil, bukan membebankan kepada masyarakat dalam bentuk harga tinggi yang dapat berdampak luas pada kehidupan sehari-hari.
“Misalnya, kebijakan lingkungan yang diterapkan berdampak pada kenaikan biaya kehidupan masyarakat. Ini harus dihindari, dan seharusnya ditanggung oleh 'polluters pay' atau perusahaan,” jelas Adila.
Dia juga menyoroti pentingnya agar pajak lingkungan, seperti pajak karbon atas batu bara, tidak langsung ditanggung oleh masyarakat melalui kenaikan tarif listrik.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: