Merespons Dinamika Politik yang Makin Memprihatinkan, Civitas Akademika dan Alumni Unair Gelar Aksi Unair Memanggil, Besok!
Salah seorang civitas Unair Airlangga Pribadi Kusman menjelaskan aksi tersebut merupakan respons terhadap dinamika politik yang terjadi saat ini. -Angga-
SURABAYA - HARIAN DISWAY - Tak ingin ambil diam, ratusan civitas akademika dan alumni Universitas Airlangga akab bersikap. Mereka menggelar aksi bertajuk Unair Memanggil: Ajakan Terbuka dalam Pernyataan Sikap Menegakkan Demokrasi, Menjaga Republik, pada, Senin, 5 Februari 2024.
Salah seorang civitas Unair Airlangga Pribadi Kusman menjelaskan aksi tersebut merupakan respons terhadap dinamika politik yang terjadi saat ini. "Sudah lebih dari 100 orang yang menandatangani petisi. Kolega sejawat di luar Unair juga akan ikut aksi tersebut," kata Angga, panggilannya, Minggu, 4 Februari 2024.
"Pernyataan sikap ini berangkat dari keprihatinan kami sebagai insan akademik terhadap perkembangan yang berlangsung akhir-akhir ini karena kami melihat penyelenggara negara ini semakin lama semakin menjauh dari prinsip etika republik," kata Angga.
Dia menjelaskan sejak awal berdirinya Indonesia sudah berpijak kepada seperti yang diutarakan para pendiri bahwa kita adalah republik bukan monarki bukan kerajaan.
Sebagai konsekuensinya dari hal tersebut maka yang ada di setiap warga negara posisinya setara, republik ini bukan milik satu kaum, bukan milik mereka yang berkuasa, bukan milik kaum ningrat, dan kaum kaya.
"Landasan itu menjadikan Indonesia sebagai negara hukum berpijak pada rule of law bukan rule by the law dan hukum di atas kekuasaan. Ketika saat ini kita menyaksikan mulai dari persoalan Mahkamah Konsitusi yang kemudian terjadi pelanggaran etika berat sampai kemudian indikasi adanya intervensi kekuasaan baik melalui aparat dalam prosesi pilpres," ujarnya.
"Kemudian program pembangunan dimanfaatkan untuk kepentingan politik elektoral, ini menunjukkan bahwa pemimpin kita tidak memberikan teladan etis bagi rakyat," katanya
Situasi tersebut menurut kalangan akademisi adalah sesuatu yang harus dievaluasi agar kemudian tidak balik lagi ke belakang atau mengalami penghancuran terhadap demokrasi, sehingga kemudian adalah republik rasa kerajaan.
"Padahal Pak Jokowi dipilih dengan harapan menjaga demokrasi, tapi akhir jabatan seperti justru yang dibela adalah kepentingan keluarga bukan kepentingan publik. Menurut kami hal ini tidak bisa diterus teruskan," ucapnya.
Mengenai anggapan bahwa pernyataan yang dilakukan para akademisi itu adalah partisan, Airlangga melihat bahwa penilaian itu tidak pada tempatnya dan memang biasa terjadi ketika ada suara yang mencoba mengoreksi dalam momen-momen politik tertentu ini dianggap meresahkan oleh kekuasaan.
"Kita tahu bahwa ini pengulangan bingkai dari era yang terjadi pada Orde Baru," katanya. "Ketika sesuatu gerakan tampil yang mendorong demokrasi kemudian balasannya adalah pemberian stempel partisan politik. Itu semakin menegaskan bahwa penguasa saat ini," katanya.
"Siapa pun yang membela, mencoba membingkai gerakan dimensi etik dengan frame sempit tentang politik tertentu menunjukkan bahwa mereka tidak sadar perbuatan yang mereka lakukan ini merusak sendi demokrasi negara kita, kewajiban kita untuk mrmberi koreksi," ungkap Angga.
Dosen FISIP Unair itu menilai hal tersebut adalah salah kaprah atau mencoba mengerdilkan dimensi etis dari tuntutan masyarakat sipil tersebut.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: