Sahara Barat ingin Merdeka, Kuliah Daring Aktivis HAM ungkap Penindasan Maroko

Sahara Barat ingin Merdeka, Kuliah Daring Aktivis HAM ungkap Penindasan Maroko

Sahara Barat ingin merdeka, kuliah daring aktivis HAM ungkap penindasan Maroko. Kuliah daring aktivis Sahara Barat diikuti berbagai mahasiswa dari beberapa universitas di Indonesia. Diskusi tersebut memaparkan keadaan Sahara Barat. Mereka ingin merdeka, l-HI FISIP Unair-

HARIAN DISWAY - Aktivis Hak Asasi Manusia (Solidarity Rising), Benjamin Ladraad dan Sanna Gothbi bersama Aktivis Sahrawi, Sid Ahmed Jouly menyelenggarakan kuliah daring pada Kamis, 29 Februari 2024. 

Mereka membahas interseksi antara hak asasi manusia dan demokrasi, dengan berfokus pada studi kasus di Sahara Barat. Acara itu diselenggarakan oleh Centre for Citizenship and Human Rights Studies (CCHRS) Universitas Pembangunan Nasional Veteran (UPN) Jakarta dengan judul "Demokrasi dan Hak Asasi Manusia: Studi Kasus Sahara Barat".  

Pembahasan itu banyak mengeksplorasi tantangan dan dinamika seputar perlindungan hak asasi manusia dan promosi prinsip-prinsip demokratis di wilayah tersebut. Acara dibuka oleh Dr Sri Lestari Wahyuningroem sebagai moderator.

BACA JUGA:Gempa Maroko: Hanya Inggris, Spanyol, Uni Emirat Arab yang Diizinkan Beri Bantuan, Warga Kelimpungan


Sahara Barat ingin merdeka, kuliah daring aktivis HAM ungkap penindasan Maroko. Suasana kamp pengungsian Sahara Barat yang dipaparkan dalam diskusi daring Demokrasi dan Hak Asasi Manusia: Studi Kasus Sahara Barat. -HI FISIP Unair-

Dia menyambut lebih dari 80 peserta, sebagian besar merupakan mahasiswa ilmu politik dari Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta (UPNVJ), Universitas Airlangga, Universitas Diponegoro, dan beberapa mahasiswa dari Kazakhstan

Sesi pertama dimulai dengan penjelasan Benjamin dan Sanna tentang aktivisme hak asasi manusia lintas batas yang mereka lakukan melalui tagar #Bike4WesternSahara. Dengan itu, keduanya memberikan pemahaman tentang latar belakang sejarah Sahara Barat, dan bagaimana wilayah tersebut menjadi dan tetap berada di bawah pendudukan Maroko hingga saat ini. 

"Hubungan sejarah dan hukum antara suku Sahrawi dan kerajaan Maroko tidak lebih kuat daripada hak penentuan nasib sendiri para rakyat Sahrawi. Jadi, pendudukan Maroko adalah ilegal. Itu melanggar hukum internasional, sama seperti yang dilakukan Israel di Palestina," ujar Benjamin. 

BACA JUGA:600 Orang Meninggal Dunia Pasca Gempa Bumi Maroko

Sebagai bekas koloni Spanyol, Sahara Barat dijanjikan referendum oleh PBB pada tahun 1991. Sebagai upaya untuk mengekspresikan hak penentuan nasibnya secara demokratis. Namun, selama 30 tahun, demokratisasi tidak terwujud. Hanya menyisakan serangkaian pelanggaran hak asasi manusia. Termasuk pengusiran paksa terhadap orang asli Sahara Barat yang dikenal sebagai Sahrawi. 

"Pada saat itu identifikasi pemilih telah dilakukan. Dan Sahrawi sudah terdaftar untuk memilih. Tetapi referendum ini tidak pernah terjadi. Selama 30 tahun gencatan senjata dan Sahrawi masih menunggu referendum yang dijanjikan," kata Sanna.

Sesi kedua menampilkan Sid Ahmed Jouly. Yakni seorang aktivis Sahrawi yang tumbuh di kamp pengungsi Sahrawi di barat daya Aljazair. Ia bersama keluarganya pernah melarikan diri dari Sahara Barat selama perang pada tahun 1975. 

BACA JUGA:Bumi Makin Panas: Suhu 50 Derajat di Maroko, Juli Bulan Terpanas Sepanjang Sejarah di Eropa

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: