Buku Sumpah Kabut Kota Karya A Junianto: Kota itu Utari
PENULIS buku Sumpah Kabut Kota A Junianto sedang membaca karya-karya puisinya dalam buku tersebut. --
"Tahap permulaan adalah air. Kemudian tanah. Lalu api. Itu tahapan hidup," ujarnya.
BACA JUGA: Bedah Buku Indah dalam Pandemi Ungkap Kiprah Indah Kurnia Selama Pandemi Covid-19
SUMPAH KABUT KOTA Karya A Junianto. Kumpulan puisi berdasarkan pengalaman panjangnya di dua kota besar. --
Gambaran awal kehidupan manusia layaknya air. Sumber kehidupan yang memberi daya hidup manusia. Artinya, proses ketika manusia lahir, belajar, dan mulai tahu banyak hal.
Setelah melewati fase air, manusia akan mencapai fase tanah. ”Tanah sebagai tempat kita hidup. Kita akan mengalami berbagai realita kehidupan di sekitar tempat kita berpijak," terang pria 42 tahun itu.
Kemudian fase selanjutnya adalah api. Fase ketika manusia mencapai eksistensinya. Sebagai manusia yang berkuasa, berkehendak, sekaligus menjadi bagian dari segala risiko dan konsekuensi.
Salah satu puisi yang bisa dianggap mencerminkan fase pertama, air, berjudul Metafora Ibu. Seperti kata "metafora" yang berarti pengandaian. Jun mengumpamakan sosok kota sebagai ibu. Tempat ia dibesarkan.
Namun, "ibu" dalam gambaran kota adalah kisah tentang sesak-padat atau riuhnya masyarakat. Tentang stupa bangunan tua yang berujud kepala kala/dan jajaran gana yang menyangga duka/menyokong kisah tentang semunya musik tanpa nada. Demikian petikan bait puisi Metafora Ibu.
Jun menggunakan pendekatan ekspresif yang berkaitan dengan pikiran, perasaan, dan pengalamannya dalam memaknai wajah kota asalnya. "Bangunan tua yang berujud kepala kala" bisa dimaknai sebagai sisa-sisa keanggunan.
Sebuah candi kerap dikagumi karena hiasan kepala kalanya itu. Artinya, kota yang terlepas dari segala kesedihan, carut-marut dan segala pertentangannya, tetap anggun sebagai kenangan yang tak terlupakan.
Sistem tanda dalam kalimat beberapa detik setelah gummamu kelihatan ritmik dan hanya menyisakan sisasisa tabik dapat dimaknai sebagai kota yang kian kehilangan jati dirinya. Tergerus oleh arus modernisasi, hingga heroisme dan bagaimana kota tempatnya tumbuh hanya tinggal sebagai kisah masa silam.
"Setiap orang yang merantau, pindah ke tempat baru, akan merasakan nilai-nilai baru. Merasakan pula kenangan dan kerinduan tentang kota asalnya," ujarnya.
BACA JUGA: Resensi Haruki Murakami - Kafka on The Shore dan Kisah di Timur Jawa
Maka tokoh "aku" dalam puisi Jun bukan "aku" subjektif. Tapi "aku" representatif. Ke-aku-an atau pengalaman yang pasti dirasakan siapa saja. Meski mungkin pengalaman atau kesan buruk yang muncul, tetap saja tanah tempat seseorang dibesarkan, senantiasa tersimpan dalam ingatan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: