Perang Persepsi Pejabat Tinggi di Kasus Sopir Microsleep

Perang Persepsi Pejabat Tinggi di Kasus Sopir Microsleep

ILUSTRASI perang persepsi pejabat tinggi di kasus sopir microsleep yang mengakibatkan kecelakaan yang menewaskan 12 orang di tol Japek. Mereka dapat santunan meski naik travel ilegal/gelap. -Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-

Saat itulah Dirut Jasa Raharja Rivan kepada wartawan mengatakan, Jasa Raharja memberikan santunan kepada semua korban. Tidak pandang bulu. Semua korban diberi.

Dikatakan Rivan, korban meninggal dunia mendapat santunan Rp 50 juta per orang yang diserahkan kepada ahli waris korban yang sah.

Dilanjut: ”Untuk korban luka, kami Jasa Raharja telah menerbitkan jaminan biaya perawatan sebesar maksimal Rp 20 juta yang dibayarkan kepada pihak rumah sakit tempat korban dirawat.” 

Berarti, Rivan mengabaikan status mobil Gran Max yang dari perusahaan travel gelap. Ia fokus pada bantuan kemanusiaan.

Rivan juga menyebutkan dasar pemberian santunan tersebut. Yakni, UU Nomor 34 Tahun 1964 tentang Dana Pertanggungan Wajib Kecelakaan Lalu Lintas Jalan. Di aturan tersebut tidak ada klausul perusahaan travel legal atau ilegal. 

Di tahun UU tersebut disahkan, belum ada legalisasi perusahaan travel. Yang ada waktu itu perusahaan otobus (PO). Jadi, Rivan tidak salah. Tindakannya sah.

Soal besaran uang santunan, Rivan mengacu pada Peraturan Menteri Keuangan RI Nomor 16 Tahun 2017 tentang Besar Santunan dan Sumbangan Wajib Dana Kecelakaan Lalu Lintas Jalan. Itu juga sah. Konstitusional.

Kesimpulan: Rivan menggunakan peraturan lama (1964) dipadu dengan atran baru (2017) soal besaran santunan.

Rivan mengakhiri: ”Kami turut prihatin dan berdukacita atas musibah ini. Semoga keluarga yang ditinggalkan mendapat ketabahan dan seluruh korban yang sedang mendapat perawatan segera disembuhkan seperti sedia kala.”

Eee… Ternyata tindakan Rivan itu diprotes Organda (Organisasi Angkutan Darat).

Ketua Bidang Angkutan Orang DPP Organda Kurnia Lesani Adnan, kepada wartawan, Selasa, 9 April 2024, mengatakan bahwa dirinya menyayangkan Jasa Raharja yang memberikan santunan kepada korban tewas penumpang mobil travel gelap.

Kurnia: ”Ini akan mendidik yang tertib menjadi tidak tertib. Mereka jadi tidak membayar iuran lagi. Jadi, Jasa Raharja sudah waktunya direvisi. Mereka seharusnya hadir kepada yang pantas disantuni.” 

Kurnia lebih dalam mengatakan, UU No 34 Tahun 1964 perlu direvisi. ”Sebab, kalau dibiarkan terus, angkutan tidak resmi tetap dapat santunan, aksi travel gelap akan terus terjadi dan masyarakat tidak bisa membedakan yang legal dengan ilegal.” 

Akhirnya: ”Ini salah satu cara agar ada pembeda antara yang resmi dan gelap. Biar masyarakat bisa merasakan kalau mereka menggunakan yang resmi dan tidak.”

Perang persepsi itu ditimpali Menhub Budi Karya dengan mengatakan, mobil Gran Max dari perusahaan travel ilegal. Mobil itu sudah jalan tanpa henti empat hari sejak sebelum kecelakaan dan hangus terbakar.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: