Imbas Israel Serang Iran: Rupiah Makin Anjlok, Ongkos Impor Ugal-ugalan, Waktunya Investasi Emas
Layanan terminal bongkar muat petikemas yang dioperasikan PT Pelindo-Dok. Pelindo-
HARIAN DISWAY– Serangan balasan Israel ke Iran makin menegaskan bahwa ketegangan konflik Timur Tengah bakal berkepanjangan. Banyak negara ketir-ketir lantara efeknya bisa memperburuk ekonomi global.
“Ya. Saya kira masih akan lama dan efeknya tentu melemahkan ekonomi dalam negeri,” terang Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Eko Listiyanto saat dihubungi, Jumat, 19 April 2024.
Menurutnya, tensi geopolitik ke depan masih akan tinggi bahkan belum ada titik temu. Ini menimbulkan ketidakpastian global. Para investor pun melarikan dana mereka untuk aset yang lebih aman seperti dolar maupun emas.
BACA JUGA:Iran Jatuhkan Tiga Pesawat Tak Berawak Israel, Klaim Daerahnya Aman
Terbukti, nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) juga melesat hingga Rp 16.265. Butuh waktu lama untuk kembali ke Rp 15 ribu. Eko menyebut ada beberapa faktor.
Analis Ekonomi Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Ajib Hamdani menyampaikan hal senada. Menurutnya, ketegangan geopolitik dan ketidakstabilan ekonomi global akan berimbas pada terganggunya rantai pasok ekonomi.
“Jelas berakibat pada kenaikan harga atas komoditas impor. Terrmasuk bahan baku, minyak, maupun ongkos logistik,” tandasnya. Hal ini juga memicu kenaikan harga pokok penjualan (HPP). Sehingga inflasi global bakal naik.
BACA JUGA:Iran Bantah Ada Serangan Rudal, Hanya Jatuhkan Drone Tak Berawak
Inflasi di Indonesia masih bisa dikendalikan sepanjang 2023. Bahkan sesuai dengan kerangka ekonomi makro yang disusun. Secara agregat hanya di angka 2,6 persen pada akhir tahun lalu.
Sementara sepanjang tahun ini diprediksi 2,5 persen plus minus 1 persen. Artinya, masih bisa ditoleransi hingga 3,5 persen. “Tapi, kenaikan harga komoditas impor akan memberikan sentimen negatif terhadap inflasi,” ungkapnya.
Dampak lainnya juga bisa melebar. Salah satunya, tingkat suku bunga The Fed bakal cenderung ditahan. Padahal, sebelumnya, pasar sempat berekspektasi bahwa The Fed akan memangkas tingkat suku bunga acuan.
Tentu saja, sambung Ajib, kebijakan moneter Bank Sentral Amerika itu menjadi patron dominan Bank Indonesia dalam membuat kebijakan moneter nasional.
“Ketika tingkat suku bunga The Fed tinggi, akan terjadi potensi crowding out atau capital outflow sehingga semakin memberikan tekanan terhadap nilai tukar rupiah,” terangnya. Sedangkan tingkat suku bunga tinggi akan mengurangi likuiditas keuangan di kegiatan perekonomian. Ini merupakan kondisi yang dilematis dari sisi moneter. (*)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: