Politik Uang

Politik Uang

ILUSTRASI politik uang alias money politics.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-

Praktik politik uang berbeda di Malaysia karena lebih berbentuk pembagian benefit ketimbang bagi-bagi uang beli suara seperti di Filipina dan Indonesia.

BACA JUGA: Legislator PDI-P Usulkan Money Politics Dilegalkan Dalam Peraturan KPU

Vote buying dan money politics menjadi fenomena yang jamak dalam praktik demokrasi di Indonesia. Edward Aspinall dan Ward Berenschot menulisnya dalam buku Democracy for Sale, ’jual beli demokrasi’, untuk menggambarkan bagaimana proses demokrasi itu dikendalikan amplop.

Aspinall dan Berenschot mengungkap bahwa untuk mendapatkan rekomendasi partai, seorang calon harus menyiapkan amplop untuk membayar mahar politik. Mahar adalah sejumlah uang atau barang yang diberikan sebagai tanda sahnya ikatan perkawinan. 

Dengan mahar itu, hubungan menjadi halal. Mahar seharusnya sakral, tetapi menjadi tercemar ketika ditempeli kata ”politik”. Mahar politik berarti amplop yang diberikan untuk mendapatkan rekomendasi politik dari partai politik.

Transaksi amplop politik untuk pembayaran mahar itu lebih mirip seperi transaksi jual putus. Setelah pembeli membayar sejumlah uang dan barang diberikan, transaksi selesai. Politisi yang mendapat rekomendasi dari partai tidak akan memakai jaringan partai sebagai mesin kemenangan, tetapi membentuk tim sukses sendiri. 

Praktik tim sukses yang lepas dari parpol pendukung tersebut menjadi fenomena khas yang hanya dijumpai di Indonesia. Aspinall dan Berenschot melakukan penelitian komparatif di India dan Argentina untuk memperbandingkannya dengan Indonesia. 

Hasilnya, ditemukan bahwa fenomena tim sukses dan sukarelawan hanya ada di Indonesia. Di India dan Argentina jaringan partai menjadi jaringan mesin pemenangan dalam pemilu. Di Indonesia jaringan tim sukses lebih diandalkan ketimbang jaringan partai. Di Argentina dan India jaringan partai terbentuk sampai ke perdesaan dan aktif melakukan kerja politik secara rutin. 

Setiap kali rakyat mempunyai berbagai persoalan, mereka bisa langsung melapor kepada aktivis partai yang langsung melaporkan persoalan itu kepada instansi terkait dan membantu mencarikan solusinya. Dengan demikian, partai politik hadir setiap hari dan selalu siap membantu kepentingan rakyat setiap saat.

Di Indonesia partai politik di level desa dan kecamatan hanya ada papan namanya. Itu pun hanya partai-partai tertentu. Para aktivis partai hanya muncul lima tahun sekali ketika ada pemilu. Karena itu, mereka terputus dari rakyat dan tidak memperoleh kepercayaan dari rakyat. 

Sebab itulah, para kandidat membentuk tim sukses sendiri terlepas dari jaringan partai. Aspinall dan Berenschot menemukan bahwa tim sukses itulah yang aktif melakukan penggalangan massa, melakukan pendataan, dan canvassing dari rumah ke rumah. 

Tim sukses itulah yang bertugas menyediakan dan membagi uang untuk memastikan kemenangan kandidatnya.  Praktik ”serangan fajar” menjadi hal yang jamak dalam perhelatan politik di Indonesia di berbagai level.

Tim sukses dan tim relawan itulah yang menjadi pendukung utama calon yang menang. Mereka juga mendapatkan reward politik dengan menduduki jabatan politik dan menerima proyek-proyek setelah kandidatnya menang. 

Usulan legalisasi politik uang dari anggota PDIP itu terasa sebagai sebuah realitas yang pahit, tetapi kenyataannya memang demikian. Praktik politik uang dan politik gentong babi sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari proses demokrasi di Indonesia.

Lebih pahit lagi, karena MK (Mahkamah Konstitusi) secara tidak langsung sudah melegitimasi praktik vote buying dan pork barrel politics itu. MK sudah memutuskan bahwa Pilpres 2024 bersih dari kecurangan dan tidak ada jual beli suara maupun politik gentong babi yang dilakukan pemerintah. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: