Warung Madura, Simbol Kemandirian Ekonomi Kerakyatan (2): Jadi Jembatan Kesejahteraan Keluarga
WARUNG MADURA yang dijaga langsung oleh pemiliknya, Zainal abidin, di dekat Balai Desa Keboansikep, Gedangan, Sidoarjo.-Boy Slamet/Harian Disway -
Setiap warung Madura yang Anda temui di jalan boleh jadi punya segelintir orang. Bentuk bisnis mereka memang bukan waralaba. Tetapi, siapa sangka, eksistensinya yang menjamur itu disokong oleh sejumlah orang yang masih tergolong satu keluarga.
--------
SIANG menjelang sore masih menguarkan suasana terik pada Kamis, 9 Mei 2024. Jalan kampung di Desa Keboansikep, Kecamatan Gedangan, Sidoarjo, terasa ramai oleh lalu-lalang pengendara. Mereka rata-rata para karyawan perkantoran hingga pabrik.
Ruko-ruko di sepanjang jalan pun kecipratan berkah. Mereka biasanya mampir membeli satu dua barang sebelum pulang. Termasuk warung Madura milik Zainal Abidin di jalan kampung dekat Balai Desa itu.
Posisinya berdempetan dengan Alfamart. Bahkan, juga berhadapan dengan Indomaret. Tetapi, warung milik Zainal juga tak kalah sibuk. Melayani pembeli yang datang silih-berganti.
Abdul Aziz, pegawainya, sempat kewalahan. Keduanya mondar-mandir di balik etalase. Tentu, ukuran warung itu sederhana. Panjangnya hanya sekitar 4 meter dengan lebar 2,5 meter.
Zainal pun tak segan turun tangan. Pria berkacamata dan berkumis tebal yang hanya mengenakan kaus singlet ini sesekali juga keluar. Berjalan dari balik etalase rokok ke depan warung. Melayani pembeli bensin eceran.
Sholeh, adik Zainal, juga ikut keluar membantu Aziz melayani pembeli dari balik etalase. Macam-macam barang yang mereka layani. Mulai dari rokok, minuman, sampai kebutuhan pokok seperti gula dan beras.
Warung itu memang belum genap lima tahun. Lebih muda ketimbang dua ritel modern yang berdekatan dengan warung tersebut. Tetapi, menilik kesibukannya, tentu warung Madura itu sudah menjadi langganan banyak orang. Terutama bagi warga yang tinggal di desa setempat.
“Nggak pernah ragu. Rezeki sudah ada yang ngatur,” jelas Zainal yang duduk di tikar setelah warungnya sudah sepi dari pembeli. Ia dipilihkan tempat itu oleh Sholeh. Tentu, pertimbangannya karena wilayah itu strategis. Ramai di jam-jam tertentu dan dekat dengan permukiman penduduk.
Bahkan, Zainal pun berani membuka toko kedua di tahun ketiga. Persis saat pandemi Covid-19 sedang ganas-ganasnya. Lokasinya juga tak jauh. Hanya berjarak 100 meter ke barat dari warung pertamanya.
Dan yang penting, sudah punya pegawai pula. Yang mengontrol operasional warung kedua itu diserahkan istrinya. “Saya hanya bantu kalau perlu kulakan,” ungkap lelaki asal Giligenting, Sumenep, tersebut.
Baginya, dua warung itu merupakan pencapaian terbesar dalam hidupnya. Tentu tidak instan. Sebab, puluhan tahun lalu ia sudah melakoni perjuangan di Jakarta bersama sang adik.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: