Warung Madura, Simbol Kemandirian Ekonomi Kerakyatan (2): Jadi Jembatan Kesejahteraan Keluarga

Warung Madura, Simbol Kemandirian Ekonomi Kerakyatan (2): Jadi Jembatan Kesejahteraan Keluarga

WARUNG MADURA yang dijaga langsung oleh pemiliknya, Zainal abidin, di dekat Balai Desa Keboansikep, Gedangan, Sidoarjo.-Boy Slamet/Harian Disway -

BACA JUGA:Stadion Markas Madura United Bersolek, Telan Biaya Rp72 Miliar

Semua itu juga bermula dari tekad Sholeh. Ia yang lebih dulu mendirikan warung di Sidoarjo. Yang pertama di Desa Damarsi, Kecamatan Buduran. Lokasinya juga tak kalah strategis. Berdekatan dengan Balai Desa setempat.

“Belum satu tahun buka. Kakak langsung tak telepon karena nemu lokasi di sini. Nggak pakai nawar, langsung besoknya survei,” ujar Sholeh yang duduk di tikar yang sama. 

Kini, Sholeh juga cukup sukses. Ia membuka satu warung lagi di Kwangsan, Sedati, pada 2022. Bahkan anak dan menantunya juga membuka satu warung di desa yang sama. 

Sholeh sangat bersyukur dengan pencapaiannya. Apalagi, si anak tak perlu merantau jauh-jauh seperti yang dialaminya. Dan ia berkomitmen usaha ini akan terus dilanjutkan hingga ke generasi berikutnya.

Warung Madura memang salah satu bentuk bisnis yang cukup kukuh menopang ekonomi keluarga. Hal ini pula yang dirasakan oleh pasangan suami istri Sudah dan Samuh asal Dungkek, Sumenep. 

Mereka sedang tidur sambil mengobrol di tikar di balik etalase saat kami hampiri di warungnya di Jalan Pacar Kembang, Jumat sore, 10 Mei 2024.

Ukuran warung itu sangat mungil. Panjang dan lebarnya sekitar 2,5 meter. Tetapi, barang dagangan mereka melimpah. Galon dan kardus air mineral menumpuk di depan etalase. 

Rokok yang dijual pun lengkap. Jarang ada pembeli yang balik badan dengan tangan kosong saat kami hampir 30 menit di sana. Termasuk yang laris tentu bensin eceran.


WARUNG MADURA punya ciri khas menjual bensin eceran. Tampak Saudah, penjaga Warung Madura di Jalan Pacar Kembang, Surabaya, sedang melayani pembeli pada Jumat, 10 Mei 2024.-Sahirol Layeli/Harian Disway-

Warung ini sebetulnya baru dibuka awal tahun. Bukan milik sendiri. Saudah dan suami diminta menjaga. “Baru jalan empat bulan di sini. Ini juga punya adik saya di Sumenep,” tandas perempuan berkerudung motif bunga itu.

Saudah dan suaminya tentu mau. Hitung-hitung sambil menunggu panen jagung di kampung halaman. Keduanya cukup terima gaji per bulan. 

Bila kelak waktu panen, mereka akan pulang ke Sumenep. Bisa dua hingga tiga bulan. Sementara warung gantian dijaga oleh sang adik. “Sekalian istirahat dulu, kan kalau di sini terus ya bosen. Gantian. Uangnya juga lumayan buat tambahan daripada nganggur,” ujar ibu dua anak tersebut. (Bersambung)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: