Korporasi Tambang Cabang Ormas Keagamaan

Korporasi Tambang Cabang Ormas Keagamaan

ILUSTRASI Korporasi tambang cabang ormas keagamaan. Nahdlatul Ulama (NU) dapat izin kelola tambang batu bara dari Presiden Joko Widodo (Jokowi).-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-

Setidaknya terdapat empat alasan mengapa pemberian WIUPK dinilai melawan perundang-undangan. 

BACA JUGA: PGI Imbau Ormas Keagamaan Tak Lalai Bina Umat Meski Dapat Izin Kelola Tambang Dari Jokowi

BACA JUGA: PBNU Dapat Jatah Tambang Batu Bara, Izin Diterbitkan Kementerian Investasi Dalam Waktu Dekat

Pertama, kebijakan itu berpotensi menabrak UUD 1945 Pasal 33 UUD 1945 berbunyi bahwa ”Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. 

Berarti, pemegang otoritas penguasaan tambang adalah negara dan hak penguasaan itu bisa diserahkan kepada BUMN, BUMD, dan perusahaan swasta yang mendapat persetujuan dengan kompensasi pembayaran royalti, pajak, dan pungutan lainnya. Sedangkan distribusi hasil tambang untuk kemakmuran rakyat dijalankan negara melalui mekanisme alokasi APBN. 

Padahal, di saat yang sama ormas keagamaan itu sendiri adalah bagian dari masyarakat yang juga berhak mendapat peningkatan kemakmuran. Jadi, tampaknya mustahil diserahkan kepada ormas keagamaan. 

BACA JUGA: PBNU Diberi Izin Kelola Tambang, Gus Yahya: Saya Jamin Profesional

BACA JUGA: Resmi! Jokowi Izinkan Ormas Keagamaan Kelola Pertambangan

Kedua, UU Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara mengamanahkan pemberian prioritas hak pengelolaan lahan bekas hanya diberikan kepada BUMN dan BUMD, bukan ormas keagamaan.  

Ketiga, ormas keagamaan tidak memiliki pengalaman, kapasitas, dan kemampuan dana untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi pertambangan. 

Kekhawatiran publik bahwa pengelolaan tambang hanya akan menjelma menjadi ajang perburuan rente ketimbang sebagai sebuah korporasi profesional pertambangan. Karena keterbatasan kompetensi dan pengalaman pada gilirannya akan memicu terjadinya pengalihan hak WIUPK kepada perusahaan tambang swasta lain yang lebih berpengalaman di sektor pertambangan sehingga pada fase ini ormas keagamaan berfungsi hanya sebagai broker alias makelar. 

Keempat, usaha pertambangan di Indonesia masih berada pada wilayah samar-samar yang penuh dengan aksi patgulipat yang rentan dengan tindak pidana kejahatan pertambangan hitam. Kalau ormas keagamaan menjalankan sendiri usaha pertambangan, tidak dapat dibantah lagi ormas keagamaan akan memasuki wilayah abu-abu yang berpotensi menyeret ke dalam lingkaran dunia hitam pertambangan.

Pemberian privilese berupa hak pengelolaan tambang kepada ormas keagamaan tak lain merupakan bentuk patronase politik. Yakni, dukungan dari organisasi keagamaan dibeli dengan konsesi ekonomi. Praktik-praktik seperti itu merugikan demokrasi karena mengikis prinsip meritokrasi dan transparansi. 

Bukannya mendorong pemberdayaan sejati, kebijakan itu justru dapat mengarah ke korupsi, nepotisme, dan bercokolnya elite-elite agama dalam struktur kekuasaan, yang makin meminggirkan masyarakat yang seharusnya diberdayakan.

Preseden historis menunjukkan manajemen yang kendati berniat baik tetapi kurang berpengalaman sering kali menimbulkan kerugian yang lebih besar. Kerusakan lingkungan yang disebabkan operasi pertambangan yang tidak dikelola dengan baik di berbagai negara merupakan peringatan keras. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: