Financial Bullying Jadi Pembunuhan

Financial Bullying Jadi Pembunuhan

ILUSTRASI financial bullying jadi pembunuhan. Rizky Nur Arifahmawati diduga mengalami financial bullying. Sebab, dia hanya mendapatkan uang belanja Rp 700 ribu per bulan dari suami, Andika Ahid Widianto. Padahal, mereka hidup di Jakarta. -Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-

Di Indonesia, mayoritas suami memberikan uang belanja rutin bulanan kepada istri. Uang itu digunakan untuk semua kebutuhan keluarga sehari-hari, termasuk kebutuhan suami. Sedangkan, suami punya rekening pribadi. Gaji dan aneka penghasilan suami masuk ke situ, lalu dipisahkan sebagian untuk uang belanja keluarga. 

Model tersebut kelihatan egois (perspektif suami) jika dibandingkan dengan di negara kaya. Sebab, masyarakat kita masih tradisional meski ada yang sudah berpendidikan tinggi. Mereka yang berpendidikan tinggi menerapkan pola tradisional itu karena menirukan gaya ortu mereka yang kurang pendidikan. 

Jadi, jika ada kasus uang belanja suami ke istri dinilai terlalu kecil, seperti Rp 700 ribu per bulan untuk keluarga dengan satu anak hidup di Jakarta yang dialami Arifah, di Indonesia tidak disebut financial bullying (pelecehan keuangan). Tidak. Bahkan, masyarakat kita tidak kenal istilah itu. 

The Guardian, antara lain, menampilkan cerita seorang istri yang tinggal di New York (identitas tidak disebut karena bisa menimbulkan chaos di rumah tangga mereka).

Perempuan New York itu menulis begini: Saya sudah menikah, dengan seorang pria yang mandiri setelah masa kecilnya yang penuh perjuangan, dengan kebutuhan yang diabaikan.

Ia (suami) sangat ketat dalam hal uang. Uang keluarga ada pada saya, tapi suami mengontrol sangat ketat. Selama bertahun-tahun setelah menikah – sekitar lima tahun– saya tidak bisa menentukan jenis makanan atau pakaian yang saya kenakan. 

Permintaan saya untuk memilih tiga jenis sereal sarapan dipandang sebagai ”upaya untuk mengkremasi uangnya”. Pakaian saya berasal dari Walmart atau Value City (area belanja harga murah di sana).

Ketika kami akan pergi keluar, saya diharapkan untuk selalu makan di rumah lebih dulu. Setelah kami keluar, saya dilarang minum kopi seharga USD 1 atau hot dog seharga USD 1 jika saya merasa sedikit lapar. Dalih suami, ”menabung” dan ”target tabungan yang agresif”. 

Jika terong busuk di lemari es, bagian yang rusak itu diambil dan dioleskan ke wajah dan lengan saya sebagai bahan kosmetik. Katanya, itu untuk mengajari saya menghargai nilai uang. 

Kehangatan bagian belakang televisi di rumah kami diperiksa suami setiba ia di rumah sepulang kerja. Itu untuk membuktikan bahwa saya telah menonton TV sepanjang hari dan karena itu ”membuang-buang listrik”. 

Belanja bahan makanan saya diawasi dengan ketat. Sebab, saya ”menjadi misi untuk membuang-buang uang”.

Saya pikir penting untuk dicatat bahwa saya tidak mempunyai penghasilan sendiri selama periode ini.

Maju cepat selama bertahun-tahun. Sekarang saya punya penghasilan sendiri. 

Sekarang saya bebas berbelanja. Toko favorit saya adalah Nordstrom dan Anthropologie (tempat saya berbelanja) secara rutin dan menyembunyikan semua (pembelian) di lemari khusus. 

Dulu saya korban financial bullying. Tapi, saya tidak pernah mengatakan itu ke suami. Sekarang saya punya uang dari hasil sendiri dan saya tidak membalas perilaku suami terhadap saya, dulu.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: