Mengkritisi Asumsi Dasar Ekonomi Makro Kabinet 2024-2029

Mengkritisi Asumsi Dasar Ekonomi Makro Kabinet 2024-2029

ILUSTRASI mengkritisi asumsi dasar ekonomi makro kabinet 2024-2029.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-

Baik dari segi jumlah maupun persentase, angka kemiskinan nasional pada Maret 2023 merupakan yang terendah sejak awal pandemi Covid-19 melanda. 

BPS mendefinisikan penduduk miskin sebagai penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran di bawah garis kemiskinan. Garis kemiskinan per kapita pada Maret 2023 dipatok sebesar Rp 550.458 per kapita per bulan. Sementara itu, garis kemiskinan rumah tangga sebesar Rp 2.592.657 per rumah tangga miskin per bulan.

Menurut BPS, ada sejumlah faktor yang memengaruhi turunnya angka kemiskinan nasional pada Maret 2023. Yaitu, tingkat pengangguran terbuka (TPT) turun, dari 5,86% (Agustus 2022) menjadi 5,45% (Februari 2023); nilai tukar petani (NTP) naik, dari 106,82 (September 2022) menjadi 110,85 (Maret 2023); laju inflasi turun, dari 3,6 (Maret 2022–September 2022) menjadi 1,32 (September 2022–Maret 2023); dan konsumsi rumah tangga pada kuartal I 2023 naik 2,21% dibanding kuartal III 2022. 

Tantangan lain tak kalah berat untuk dieksekusi adalah mempertahankan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (USD). Beberapa pekan ini rupiah mengalami depresiasi terhadap USD, yang terakhir telah melampaui Rp 16.000. 

Pelemahan itu lebih disebabkan tekanan faktor eksternal, yakni kebijakan The Fed yang agresif untuk menekan inflasi dalam negeri AS dengan menaikkan suku bunga. Kebijakan tersebut memiliki korelasi yang kuat terhadap pelemahan rupiah. 

Sebagai counter-measure, langkah serupa diambil Bank Indonesia, dengan menaikkan BI-7 day reverse repo rate, juga ternyata memiliki korelasi yang kuat. Dengan asumsi bahwa kenaikan suku bunga BI ditujukan untuk menguatkan rupiah, seharusnya nilai korelasi yang dihasilkan bersifat negatif atau berkebalikan. 

Namun, korelasi yang dihasilkan justru bernilai positif, meski tidak sekuat pengaruh kenaikan suku bunga The Fed. Kendati kebijakan itu awalnya ditujukan untuk mendongkrak nilai rupiah, nyatanya kebijakan tersebut belum berhasil menekan pelemahan rupiah lantaran faktor eksternal lain. Misalnya, konflik geopolitik dan gejolak politik domestik.

Postur ekonomi Indonesia yang relatif mampu menahan gempuran tekanan eksternal bisa memantik optimisme dalam menyongsong turbulensi ekonomi 2025. Yakin bisa! (*)


Sukarijanto, direktur di Institute of Global Research for Entrepreneurship & Leadership dan kandidat doktor di program S-3 PSDM Universitas Airlangga-Dok Pribadi-

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: